Kamis, 20 Oktober 2011

Kisah Seorang Mutiara

Terkadang kita lupa untuk sekedar mengucapkan syukur atas apa yang kita miliki hari ini.


Terhitung sejak dua hari yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pemuda asli Kota Batu, bernama Adi. Dia adalah teman istri saya semasa SMA, dan kami berkenalan dalam membantu usahanya yang baru akan dirintis. Seorang teman baru, yang mungkin dalam beberapa waktu ke depan akan sangat intens berkomunikasi dengan saya dan istri saya.

Mengenalinya dalam waktu yang singkat ini membuat saya mengingat kebesaran Tuhan dalam menentukan langkah yang dilalui oleh makhluknya. Ya, dia adalah seorang pemuda biasa, seperti pemuda-pemuda lainnya. Anak band, pacaran, pakaian up-to-date seperti pemuda-pemuda lainnya. Namun ternyata Tuhan sangat berkuasa atas membuat teman saya ini berbeda dengan yang lain. Ketika yang lain mengejar jabatan di perusahaan-perusahaan multi-nasional atau menjadi aparatur negara dengan gaji yang melimpah, Adi memilih membenamkan dirinya untuk mengajar di sebuah Sekolah Luar Biasa.

Kisah perkenalan ‘anak band’ ini dengan sebuah SLB di Kota Batu cukup mengherankan. Dia ditawari mengajar musik di sebuah sekolah yang fasilitas studionya cukup lengkap. Mengajar musik sebenarnya bukan sesuatu yang sulit untuk seorang musisi sepertinya. Namun yang akan diajar adalah anak-anak yang memiliki keterbelakangan, baik fisik maupun mental. Dan sangat mengejutkan juga, bahwa Adi menerima tawaran itu, tepat beberapa hari setelah Ujian Akhir SMA 2007.

Pada hari pertamanya, dia datang dengan dandanan anak band-nya : celana jeans belel dan rambut gondrong. Kedatangannya disambut dengan pandangan heran siswa-siswa SLB, yang kemudian membuntutinya ke Kantor Kepala Sekolah sambil berteriak-teriak “Ada anak Punk.. Ada anak Punk” serta menungguinya keluar sambil tiduran di lantai kantor. Adi bercerita bahwa saat itu dia mendapat kesan yang tidak nyaman dari siswa-siswanya.

Siswa-siswa Adi bermacam-macam keadaannya. Ada yang terlihat biasa-biasa saja, namun tidak mendengar jika dipanggil. Ada yang tidak memiliki tangan dan kaki, namun dikaruniai suara yang sangat indah. Ada yang selalu terlihat kosong namun ternyata pandai menghitung. Ada pula yang selalu berpura-pura mengerjakan soal, namun kertasnya kosong. Dan yang lebih menyedihkan, ada yang secara fisik kurang mampu, dan mentalnya juga tidak dapat diharapkan.

Hari-hari pertama Adi dilalui dengan perasaan yang tidak menentu. Dia mengajar siswa-siswa Tuna Grahita hingga Tuna Rungu cara bernyanyi atau bermain alat musik. Tentu sangat berbeda dengan mengajari orang normal bermusik, karena siswa-siswanya membutuhkan waktu berbulan-bulan hanya untuk bisa bernyanyi lagu ‘Balonku’, atau memainkan satu lagu singkat dengan gitar. Belum lagi banyak dari mereka yang susah dikendalikan dan sering membuat kekacauan.

Di SLB itu, jumlah guru tidak selengkap di sekolah-sekolah normal lainnya sehingga Adi juga mengajar olahraga. Selang beberapa bulan, Adi diangkat menjadi guru kelas Tuna Rungu. Dia memberi pelajaran lengkap sesuai kebutuhan anak-anak didiknya, tentu saja dengan bumbu-bumbu kejengkelan atau kelucuan yang tidak akan pernah ditemukan di sekolah normal.

Di antara cerita-cerita Aldi, saya merasakan betapa perjuangannya sangat keras untuk mendidik ‘anak-anak khusus’ disana. Mulai dari menghafalkan bahasa-bahasa isyarat hingga berusaha membangkitkan semangat mereka. Tidak jarang Adi mendapat perlakuan yang tidak baik, mulai dari ditendang siswanya yang rata-rata seusia dengannya sampai merasakan diludahi. Namun Adi tetap berhati besar untuk tidak menyerah. Dan yang lebih membuat terharu adalah, Adi melakukan semua itu untuk gaji yang hanya 100 ribu rupiah per bulan.

Kebesaran hati Adi ternyata membuahkan hasil. Dia berhasil membawa siswa-siswa istimewanya menjadi juara di hampir seluruh kejuaraan yang mereka ikuti, mulai dari lomba menyanyi tingkat Propinsi dan Nasional, lomba mata pelajaran, dan lomba olahraga. Itu menjadi hiburan tersendiri bagi Adi di antara perjuangan kerasnya. Di samping itu, mengajar SLB juga cukup menggelikan baginya. Adi berkisah tentang perjuangannya memberi isyarat pelanggaran atau off-side pada para penyandang Tuna Rungu saat bermain sepak bola. Dia juga bercerita tentang rasanya ditembak oleh siswinya yang berkebutuhan khusus, serta perjuangannya untuk menolak pernyataan cinta itu.

Salah satu yang cukup menggelikan adalah pada saat terjadi gempa bumi beberapa hari yang lalu. Saat itu Adi langsung membawa siswa-siswa Tuna Grahita maupun yang cacat fisik untuk turun ke halaman sekolah. Setelah sampai di bawah, Adi lupa bahwa siswa-siswa Tuna Rungu tidak dapat mendengar keributan yang terjadi. Dia segera menoleh ke lantai dua, tempat siswa-siswa Tuna Rungu belajar. Sungguh miris, disana dia melihat sekumpulan orang-orang yang tak dapat mendengar itu tersenyum lebar sambil melambaikan tangan ke arah kawan-kawannya yang sudah di halaman. Siswa-siswa Tuna Rungu tidak mendengar apa yang terjadi, tapi mereka dapat melihat bahwa teman-teman mereka berkumpul di halaman, sehingga mereka kemudian melambaikan tangan mereka dengan polos. Adi segera berlari ke lantai dua untuk mengajak mereka turun ke halaman.

Namun tentu saja, kekurangan mereka tetap meninggalkan kisah-kisah yang menyayat hati. Ada beberapa di antara siswi Adi yang dihamili oleh orang-orang berhati bejat, yang semakin menyuramkan masa depan mereka. Ada pula yang kemudian terusir dari keluarganya, lalu menjadi pengamen di alun-alun dengan bermodalkan lagu Balonku yang hanya hafal dua baris awal yang disambung dengan dua kalimat syahadat. Sungguh miris saat Adi bercerita tentang orang-orang yang tak beruntung itu.

Adi sungguh mengesankan. Saat pemuda normal seusianya saling bersaing menjadi mutiara terbaik seperti yang diimpikan, Adi memilih untuk menjadi mutiara yang menerangi kerikil-kerikil di kedalaman laut. Setidaknya, dia sudah membuktikannya bahkan sejak ijazah SMA nya belum ditandatangani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar