Sabtu, 08 Oktober 2011

DISUNAT JIN

“Pak Kyai... Pak Kyai...”

Seorang lelaki 50 tahunan, bersarung dan berbaju koko, berhenti berjalan lalu menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Seorang ibu muda yang mungkin usianya belum genap 30 tahun terlihat berlari terengah-engah. Sepertinya ada hal penting yang harus segera disampaikan saat ini juga, tidak bisa tidak.

“Ada apa Nur?” tanya lelaki yang dipanggil Kyai tadi. Dia menatap ibu muda itu.

“Kasan, pak Kyai.. Huh..Huh... Kasan...” jawab Nur, berusaha mengendalikan nafasnya yang berlari kencang.

“Ada apa lagi dengan anak nakal itu? Belum jera dia ku hukum membersihkan musholla?” tanya Kyai, mencoba memahami suasana.

“Bukan pak, huh..huhh.. Kasan gak nyolong sandal lagi. Huh.. Huh.. Dia minta disunat pak.” jawab Nur, masih bergelut dengan nafasnya.

“Alhamdulillah. Anak itu sudah sadar dengan usianya sekarang. Segera kau sunatkan saja dia. Bawa ke mantri sunat di Puskesmas, jangan ke dukun. Habis nanti ‘burung’nya diparang.”

“Bukan itu masalahnya, pak Kyai.”

“Apa? Modal selametan? Minta sana sama Nyai’mu.”

“Bukan pak.”

Kyai mengernyitkan dahi, penasaran dengan masalah yang dimaksud Nur.

“Kasan minta disunat sama jin, pak.”

***

Sudah seminggu berita Abdullah dan Rohim disunat jin menjadi bahan pembicaraan orang-orang sekampung. Tidak ada yang dapat mencerna dengan akal sehat, ketika dua orang anak pulang menjelang maghrib dari bermain bola dengan memegang kemaluan masing-masing. Mereka bercerita sambil menangis, katanya baru saja bertemu orang tua berambut putih di bawah pohon bambu angker di ujung jalan. Orang tua itu memegang kemaluan kedua anak itu, dan tiba-tiba ‘burung’ yang masih berparuh itu sudah ter-sunat rapi. Tanpa sakit. Tanpa jarum suntik, gunting atau parang. Dan hebatnya lagi, langsung kering, seakan sunatnya sudah sebulan yang lalu.

Orang tua kedua anak itu sangat terkejut. Belum terpikir rencana mereka untuk menyunat anak-anak bandel itu. Tentu masalah biaya menjadi alasan utama, terutama biaya selamatan. Tapi dengan kejadian itu, mereka akhirnya mau tidak mau memotong ayam dan meminjam uang ke tetangga untuk acara selamatan khitan. Sementara teman-teman Abdullah dan Rokim berkumpul tiap hari di rumah mereka untuk mendengar kisah yang telah diulang-ulang hingga ratusan kali.

Kyai Jalaluddin, guru ngaji Abdullah dan Rokim, menggeleng-geleng kepala saat mendengar kabar dikhitannya dua murid ngajinya. Tentu bukan khitannya yang membuatnya heran, melainkan pelaku yang mengkhitan kedua anak itu dengan hasil yang sedemikian rapinya. Ketika diminta komentar, Pak Jalaluddin memilih aman dengan membaca kalimat tasbih. Komentar Kyai Jalaluddin semakin membuat warga percaya bahwa jin memang pintar mengkhitan anak-anak kecil.

***

Dan sekarang, Pak Kyai kembali menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak habis pikir, kepercayaan masyarakat terhadap sebuah kejadian mistis sangat besar. Kali ini dia melihatnya dari seorang anak kecil bernama Kasan, yang meminta disunat oleh jin.

Setelah Nur bercerita lengkap tentang rengekan Kasan untuk dikhitan oleh jin, Pak Kyai akhirnya bersedia bertamu ke rumah Nur. Disana sudah ada Pak Jumino, ayah Kasan, duduk di teras bersama Kasan dan Pak Suyono, kakak Nur. Setelah mengucapkan salam, Kyai Jalal lalu mengelus-elus kepala Kasan. Yang dielus Cuma nyengir-nyengir kuda.

“Kamu katanya pengen disunat, San?” tanya Kyai Jalal.

“Enggih, Pak Kyai.” Jawab Kasan, sambil tetap nyengir.

“Ya ayo, ta’ anter ke Puskesmas. Mantri sunatnya teman saya.”

“Nggak mau, Kyai. Saya ingin disunat sama Jin aja, kayak Rohim sama Abdullah.”

“Lho, kenapa kok pengen disunat sama Jin?” Kyai Jalal mengernyitkan dahi.

“Katanya Rohim, enak, Kyai. Gak sakit. Tau-tau udah kering. Saya ingin yang kaya’ gitu, Kyai.”

“Emang Jin mau disuruh nyunat gitu?”

“Mau, Kyai. Itu Rohim sama Abdullah.”

“Kamu tau dari siapa kalo yang nyunat Rohim sama Abdullah itu Jin?”

“Katanya orang-orang, Kyai.”

“Gimana ceritanya Jin kok nyunat gitu?”

“Kata Mas Abul, ada doa nya, Kyai. Rohim sama Abdullah itu baca doa nya pas malam tanggal 15 kemarin. Itu doa nya buat janjian sama Jin nya, kalo Jin nya bisa, ya nanti datang nyunat. Tapi kalo mau baca doa nya, harus mandi air dari 7 selokan dulu, terus nyembelih ayam hitam.”

“Waduh, koq ada doa nya juga. Saya malah nggak tahu itu, Kyai.” sela Pak Jumino, sambil menyeruput kopinya yang baru datang.

“Loh, iya pak. Itu Mas Abul yang cerita.”

Sementara Kyai Jalal tetap mengelus-elus kepala Kasan. Dia terdiam, seperti tengah berpikir. Tak lama, Kyai pamit pulang. Kasan, Bu Nur dan Pak Jumino melongo, hanya bisa melihat Kyai melangkah menjauh.

***

Malam tanggal 15 bulan berikutnya, tampak seorang pemuda berusia 17 tahunan berdiri di tengah kerumunan orang-orang. Pemuda itu terlihat sangat serius. Di sekelilingnya terdapat 2 ember besar dan 1 nampan penuh bunga. Lalu pemuda itu memberi isyarat kepada 6 orang yang berbaris bertelanjang dada dan hanya mengenakan sarung saja. Diantara ‘pasukan bersarung’ itu, tampak 2 orang pemuda berusia sama dengan si pemberi isyarat. Sisanya adalah anak-anak kecil, tidak terkecuali Kasan.

Pasukan bersarung itu bergerak ke tengah kerumunan, berbaris tepat di depan pemimpin upacara itu. Mereka terlihat tegang, sementara si pemimpin berjalan mengelilingi pasukan itu.

“Bul, cepat. Ini udah dingin sampe ke dalam-dalam lho.” pinta seorang pemuda yang merupakan anggota dari pasukan bersarung. Yang dipanggil tetap berjalan berkeliling.

“Mas Abul, ayo cepetan.” teriak Kasan, sepertinya dia juga sudah tak tahan dengan dinginnya malam itu.

Si pemimpin, yang dipanggil Abul, lalu berdiri tepat di depan barisan itu.

“Hai orang-orang berdosa, yang belum disunat. Hari ini saya akan membantu anda semua untuk sunat dengan bantuan Jin, seperti yang dirasakan oleh Rohim dan Abdullah. Saya akan menanyakan dulu pada kalian semua. Apakah kalian sudah melepas pakaian kalian semua?”

“Sudaahhh” jawab pasukan bersarung, kompak.

“Bagus. Sekarang saya akan menyiramkan air dari 7 selokan ini kepada kalian.”

Beberapa orang berpakaian hitam kemudian keluar dari barisan penonton, mengambil segayung penuh air selokan di dalam ember lalu menyiramkan kepada 6 orang pasukan bersarung. Lalu mereka kembali untuk mengambil segenggam bunga dan menaburkannya di atas kepala pasukan bersarung.

“Baik. Sekarang lepaskan ikatan sarung kalian. Kalian harus berjongkok dan mengangkat sarung kalian tinggi-tinggi hingga menutupi seluruh tubuh.” Perintah pemimpin Abul.

6 orang berpakaian hitam membantu pasukan bersarung melaksanakan perintah Abul. Mereka juga memegangi ujung sarung itu agar tidak jatuh. Tiba-tiba Abul melompat dan membentuk posisi kuda-kuda.

“Sebentar lagi, para Jin akan datang ke tengah-tengah kita. Saya minta bagi penonton yang memiliki penyakit lemah jantung agar meninggalkan tempat ini.” Penonton tetap di tempat, tidak ada yang bergerak pergi. Sementara angin malam semakin menambah dingin dan mencekamnya malam itu.

“Baik. Saya akan mempersilahkan para jin untuk hadir.” Abul mengangkat tangannya, lalu membentuk lambang bintang di atas kepalanya.

“Hai, para Jin, datanglahhh....”

Tepat dengan terikan ‘datanglah’ Abul, 6 orang berpakaian hitam yang memegang ujung sarung tiba-tiba menarik ujung sarung tersebut dengan keras hingga tertarik. Sontak saja para pasukan bersarung menjadi telanjang bulat di tengah kerumunan orang-orang kampung. Mereka segera berdiri, mengejar orang-orang berpakaian hitam yang membawa sarung mereka. Dan terlihatlah 6 ‘jin’ telanjang yang berlari berputar-putar sambil menutupi kemaluan mereka dengan tangan. Para penonton tertawa terbahak-bahak, sementara ke-6 orang telanjang mulai mencoba meraih sesuatu untuk menutupi kemaluan mereka. Sungguh, diantara 6 orang telanjang itu, tak ada satupun dari mereka yang terpikir akan dipermalukan seperti itu. Mereka berharap disunat oleh Jin, namun yang ada, merekalah yang menjadi jin. Telanjang lagi.

Suara riuh rendah itu semakin menjadi kala ke-enam ‘jin telanjang’ itu mengejar-ngejar penonton, mencoba menarik kain apapun yang bisa digunakan untuk mengurangi rasa malu mereka. Akhirnya keadaan benar-benar chaos, banyak yang berteriak, ada yang terinjak-injak, ada yang menabrak ember berisi air selokan, hingga kehilangan jilbab karena ditarik pemuda-pemuda telanjang untuk menutupi kemaluan mereka. Di tengah-tengah chaos itulah, Kyai Jalal tiba-tiba datang dan berteriak kencang. Mendengar teriakan keras sang sesepuh kampung, semua orang, tidak terkecuali para pemuda telanjang yang sedari tadi berlari kesetanan.

“Ada apa ini?” tanya Kyai Jalal penuh selidik. Orang-orang terdiam, beberapa dari mereka menarik Abul ke depan Kyai Jalal. Kyai Jalal menyilangkan tangannya di dada, menunggu penjelasan dari Abul.

“Ehh.. Begini pak Kyai.. Saya membantu teman-teman yang belum sunat.. Ehh.. Mereka minta disunat jin, jadi saya panggilkan jinnya...” Abul mencoba menjelaskan kejadian itu. Omongannya belepotan, mencari-cari alasan yang dapat membenarkan keisengannya itu.

Mata Kyai Jalal menatapnya tajam, Abul semakin menggigil. Sementara ke-enam korbannya mendekat mengerubunginya. Dari keenam itu, hanya Rusli, 16 tahun, yang belum berhasil menemukan penutup kemaluannya, sedangkan yang lain telah aman.

“Benar pak Kyai, saya diminta sama anak-anak yang belum sunat untuk memanggil jin. Tapi pak Kyai, saya tidak mengira kalau jin yang saya panggil ternyata jin jahat, akhirnya dia iseng mengerjain anak-anak ini.”

Mendengar jawaban ini, sontak orang-orang tertawa cekikikan. Dasar Abul, bisa saja menemukan pembenaran untuk kesalahannya. Sangat Madura sekali.

Kyai Jalal kemudian menyerahkan kaus dan sarung Rusli, yang entah bagaimana, ada di tangannya. Dia menatap ke arah keenam korban Abul, setelah berdehem sedikit, lalu dia memulai berbicara.

“Kalian ini ada-ada saja, ingin disunat kok ya minta disunat jin. Kalian pikir jin itu mantri sunat? Ya begini jadinya, minta disunat jin malah yang datang jin kurang ajar. Ini adalah pelajaran berharga untuk kalian semua, jangan pernah mau minta tolong sama jin. Minta itu ya sama Allah. Itu pun ada cara-caranya. Ingin doa terkabul, ya harus berjuang dan tawakkal. Ingin disunat, ya ke mantri sunat, sambil berdoa semoga tidak terasa sakit. Nabi Ibrahim saja saat akan dibakar Namrud sempat berdoa meminta pertolongan Allah, jadi apinya bisa dingin. Kalian kalau ingin sunatnya tidak sakit, ya berdoa.”

“Tapi Kyai, Abdullah dan Rokim kok bisa disunat sama jin? Kan artinya jin bisa nyunat.” Sanggah Kasan.

“Abdullah dan Rokim itu disunat karena memang kuasa Allah. Allah selalu menunjukkan kebesaranNya, salah satunya ya melalui peristiwa Abdullah dan Rokim. Allah menunjukkah kuasanya melalui banyak cara dan perantara, bisa dengan menghilangkan panas api seperti di kisah Nabi Ibrahim, bisa dengan menghilangkan rasa sakit saat syuhada-syuhada tertembus panah di Perang Uhud, atau juga melalui malaikat-malaikatnya yang turun ke bumi.” Jawab Kyai Jalal.

“Berarti yang datang ke Abdullah dan Rokim itu malaikat ya Kyai, bukan jin?” tanya Abul.

“Wallahu a’lam. Yang pasti, besok kalian harus sunat. Besok saya atur semua biaya sunat dan selametan kalian, yang penting kalian besok jam 9 pagi harus sudah kumpul di Puskesmas di pertigaan pasar.” Pungkas Kyai.

“Sekarang kalian pulang, penonton juga pulang, saya ingin memberi hukuman kepada jin yang kurang ajar ini”. Lanjutnya, sambil menarik tangan Abul.

Tidak ada yang tahu hukuman apa yang diberikan kepada Abul, yang pasti semua akhirnya sadar bahwa jin bukanlah mantri sunat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar