Jumat, 08 Juni 2012

Tidur Siang

Apa yang akan anda lakukan jika siang ini anda merasa sangat lelah, tidak ada tugas atau kesibukan yang menunggu, suasana lengang dan nyaman, dan kasur sudah siap menunggu punggung anda? Tidur Siang!!! Jawaban yang simple, dan merupakan satu-satunya kegiatan yang tepat untuk dilakukan.

Saya kan sangat bersyukur jika mampu melakukannya, karena pada kenyataannya, saya tidak mampu seperti itu. Saya tidak pernah bisa tidur siang. Mungkin bukan tidak bisa, tapi sangat dilarang keras untuk tidur siang. Ya, memang cukup mengherankan. Dan mungkin anda akan semakin keheranan jika saya beritahu bahwa saya akan sakit jika tidur siang, walaupun hanya 10 menit. Setiap kali saya bangun dari tidur siang, kepala saya pasti pusing dan badan lemas. Dan itu akan terus saya rasakan hingga keesokan harinya, sehingga jika siang ini saya tidur siang maka besok kegiatan saya akan terganggu.

Dan itu sudah saya rasakan sejak lama. Mungkin ini karma Tuhan, karena dulu waktu kecil saya selalu kabur saat diminta tidur siang oleh orang tua saya. Bahkan ketika pintu dikunci dari luar, saya masih bisa melarikan diri lewat jendela. Hingga saya SMA pun, saya tetap tidak pernah tidur siang. Saya selalu pulang menjelang Maghrib, lalu keluar lagi sampai menjelang Subuh. Ya, mungkin ini karma.

Tapi apakah tidak ada alasan berbau medis yang mungkin bisa menjawab misteri ini. Apakah ini merupakan salah satu gejala sleeping disorder?!. Mungkin saja, mengingat saya juga memiliki masalah dengan tidur malam, yaitu selalu mengigau. Dan anehnya, igauan saya dapat menjadi obrolan panjang. Istri saya sering menggoda saya, jika saya mengigau, istri saya selalu mengajak ngobrol, dan ajaibnya saya bisa menjawab obrolan itu. Dan nyambung!!. Hal itu membuat saya sangat takut berselingkuh, karena pasti bocor,hehe.

Huhuhu, kembali ke masalah tidur siang. Karena saya tidak pernah berhasil tidur siang dengan nikmat (seluruh percobaan yang saya lakukan berakhir sama : sakit!!), akhirnya saya selalu menjadi the one to guard the village in the afternoon, karena istri saya dan (sepertinya) seluruh orang kampung saya pasti tidur siang, terutama pada hari Minggu. Rasanya sangat tidak nyaman. Sendirian, tidak ada kerjaan, ngantuk, tapi tidak bisa tidur siang. Ahh, ada apa dengan saya?!!!.

Akhirnya, SOLITAIRE menjadi teman setia saya di siang hari yang sepi, seperti hari ini.^_^

MENCARI ZUBAEDAH


“Cari Zubaedah !!”

Mungkin hingga detik ini aku bernafas, tak ada perintah yang terasa sangat berat untuk kulaksanakan, kecuali mencari Zubaedah.

Harus kemana kucari Zubaedah? Selama ini aku hanya bertemu dengannya selepas maghrib, berjalan ke arah kota. Atau ketika dia pulang menjelang Subuh ketika aku baru berniat memejamkan mata di pos ronda.

Lalu, harus kemana kucari Zubaedah? Tempat mangkalnya pun aku tak tahu. Apakah di wisma-wisma pinggir jalan yang lampunya redup, atau di antara nisan-nisan makam Cina di timur sana. Atau mungkin di tempat yang lain. Aku tak tahu.

Bahkan semisal aku dapat menemukannya, apa yang harus kulakukan disana? Bisa jadi aku dihajar para pelanggannya jika memaksa bertemu dengan Zubaedah. Ahh, entahlah.

Yang penting, saat ini aku berlari. Demi mencari Zubaedah, demi menyampaikan sebuah pesan : Minto, anak lelaki satu-satunya, telah meninggal tepat Adzan Isya’ berkumandang tadi.

Aku masih berlari, tak tahu arah yang kutuju, yang pasti ke ujung desa sana. Di sana ada perempatan, baru aku akan memilih jalan. Apakah ke kanan, ke kiri, atau lurus saja. Sementara udara jam setengah delapan ini sudah mulai dingin, bahkan sarung yang ku selempangkan di pundak tak dapat menahan hawanya. Entah bagaimana caranya, Zubaedah tidak pernah jatuh sakit walau berjam-jam di luar dengan pakaian minim.

***

Kisah Zubaedah, janda muda yang jadi pelacur, mungkin salah satu kisah termiris yang pernah ku ketahui. Zubaedah muda adalah gadis desa yang sangat taat beribadah, penampilannya kalem dan lembut. Jangan tanya wajahnya, hampir semua lelaki di kampung tak dapat memalingkan mata jika melihat Zubaedah berjalan di pagi hari mencuci baju di sungai.

Zubaedah tinggal sendiri, orang tuanya sudah meninggal saat usianya 15 tahun. Beruntung, kakaknya yang sakit-sakitan masih sempat menikahkan Zubaedah  tiga bulan sebelum dia meninggal. Lelaki beruntung yang menikahi Zubaedah adalah Pariyo, sopir bus malam antar provinsi. Zubaedah dinikahkan pada usia 16 tahun, dan langsung hamil sebulan setelah menikah. Namun malang tak bisa ditebak, si suami ternyata punya hobi nyeleneh : senang kawin. Lelaki itu tak lagi tak pulang setelah menikah beberapa bulan, hingga kehamilan Zubaedah mendekati persalinan. Kabar burung, dia menikah lagi dengan gadis asal Karawang. Akhirnya Zubaedah melahirkan didampingi Mak Sun. Hanya Mak Sun, karena suaminya sudah tak ada kabar.

Zubaedah kemudian bertekad membesarkan anaknya seorang diri. Tapi apa daya, yang tersisa di rumahnya hanya beberapa gram emas peninggalan emaknya, dan beberapa barang perabotan rumah tangga. Berselang bulan, semua itu sudah berpindah tangan.

Menyadari hartanya menipis, Zubaedah mulai mencari pekerjaan. Dimulainya dari menjadi buruh cuci di beberapa rumah tetangga. Namun hampir semuanya hanya berlangsung sebulan dua bulan saja, karena ibu-ibu tetangga cemburu melihat suaminya memelototi tubuh Zubaedah. Akhirnya Zubaedah harus mencari pekerjaan lain untuk menghidupi anaknya yang saat itu masih berumur 16 bulan.

Pekerjaan berikutnya, Zubaedah menjadi pelayan toko Haji Makki. Namun dia keluar setelah beberapa minggu disana. Ternyata putra Haji Makki, Aryo, sering tak tahan melihat Zubaedah sendiri di toko. Demi menjaga kehormatannya dan nama baik keluarga Haji Makki, Zubaedah memilih mengundurkan diri.

Pak RT yang kasihan pada nasib Zubaedah, kemudian mengumpulkan warga mencarikan jalan keluar untuk itu. Akhirnya warga sepakat mendaftarkan Zubaedah pada Kasmoyo, kerabat jauh Pak Hanif yang katanya bisa memberangkatkan Zubaedah menjadi TKW di Hongkong. Warga juga sepakat urunan membantu membayar biaya pendaftaran Zubaedah menjadi calon TKW.

Tapi berbulan-bulan setelah uang pendaftaran diterima Kasmoyo, ternyata Zubaedah tak juga berangkat ke Hongkong. Warga yang marah-marah lalu minta pertanggungjawaban Pak Hanif. Namun tetap tak ada kejelasan, hingga akhirnya ketika perhatian warga kembali tertuju pada Zubaedah, dia telah terlilit hutang cukup besar pada rentenir!

Jadilah Zubaedah pengangguran yang terlilit hutang, sementara anaknya, Minto, mulai tumbuh kekurangan gizi. Parahnya, semakin lama warga semakin tidak peduli pada Zubaedah, karena Pak RT yang selama ini memberi kepedulian lebih telah meninggal karena stroke.

Menyadari kondisi dan kebutuhannya, Zubaedah yang masih berumur 20 tahun kemudian mengambil keputusan penting : menjadi pelacur. Dan itulah yang dilakukan Zubaedah selama tiga tahun ini. Dari hasilnya sepertinya lumayan, karena dia bisa menyekolahkan Minto yang memang sudah usia masuk sekolah.

Warga bukannya tak tahu dengan pekerjaan Zubaedah, namun selama dia tidak mangkal di kampung atau melayani orang-orang kampung, warga merasa tidak keberatan. Toh, mereka juga mengerti bahwa tidak ada pilihan lain bagi Zubaedah.

***

Dan kini, aku sudah sampai di ujung kampung. Aku bimbang memilih ke arah manakah aku harus mencari Zubaedah. Kakiku gemetaran, bukan karena dingin, tapi karena memikirkan nasib Zubaedah yang sangat malang. Dia yang rela menjual dirinya untuk membesarkan putranya, melakukan apapun demi putranya, kini harus kehilangan harta terbesar dalam hidupnya.

Aku berdiri diam di tengah perempatan. Mendongak ke atas, melihat ribuan bintang-bintang di langit, tempat yang kupercaya sebagai tahta Tuhan. Aku menangis getir, karena aku yakin, bahkan adalah Tuhan yang membuat hidup Zubaedah sedemikian malangnya. Aku tahu bahwa Tuhan lah yang menyusun sebuah skenario hidup untuk Zubaedah, seorang gadis kembang desa yang menjadi pelacur. Namun aku ingin sekali bertanya, apa yang akan didapat Zubaedah dari skenario hidupnya yang seperti ini?

Jika aku mengikuti kata-kata pada Habib Arab di televisi tentang pelacuran, Zubaedah memang wajib masuk neraka. Tapi kenapa? Kenapa Tuhan tak memberikan Zubaedah hidup yang layak, suami yang baik dan sholeh, atau rejeki yang melimpah agar Zubaedah tak terjerumus dalam lembah hitam? Kenapa Tuhan menggariskan hidup Zubaedah seperti ini?

Bukankah Tuhan Maha Adil, tapi kenapa tak adil pada hidup Zubaedah? Kenapa hidup Zubaedah tak seperti Bu Sopiah yang janda tapi kaya raya? Kenapa harus begini hidup Zubaedah?

Aku sudah sangat lama mengerti bahwa Tuhan mengerti hingga setiap kata yang diucapkan hambanya dalam hati. Aku juga sudah lama diajarkan bahwa Tuhan mengatur setiap kejadian, bahkan sebatang ranting jatuh pun diketahui-Nya. Tapi mengapa Tuhan tak mendengar tangis dan ratapan Zubaedah tentang hidupnya? Mengapa Tuhan membiarkan Zubaedah yang kukenal taat beribadah terdera, tubuhnya disentuh puluhan atau bahkan ratusan lelaki hidung belang? Dan apa yang akan didapat Zubaedah dari hidupnya ini?

Aku terengah-engah mempertanyakan keputusan Tuhan akan hidup Zubaedah. Tapi apa mau dikata, keputusan Tuhan memang untuk dijalani, bukan dipertanyakan. Aku menyerah, Tuhan. Aku menyerah pada segala keputusanmu.

Akhirnya, aku tak kuasa berdiri lagi. Tubuhku mulai limbung. Aku sadar, aku akan pingsan disini. Aku akan pingsan di tengah perempatan ini.

***

Tepat sepuluh hari setelah pemakaman Minto, aku mendengar kabar Zubaedah mati bunuh diri.

Jumat, 25 Mei 2012

Semalam di Kota Kediri

Jam 00.30. Semoga belum telat.

Saya sangat tidak menduga bahwa acara malam itu baru selesai lewat tengah malam, padahal saya masih memiliki agenda terpisah di kota ini, yaitu menikmati malamnya. Ya, saya hanya satu malam berada di kota bernama Kediri ini, diantara agenda-agenda rapat yang sangat padat. Sementara saya punya setidaknya dua agenda 'jalan-jalan' disini, yaitu menikmati Malioboro ala Jalan Dhoho Kota Kediri dan menikmati gemerlapnya Simpang Lima Gumul pada malam hari.

Seandainya kawan saya, Laily, tidak memberi free guiding tadi pagi, mungkin saya akan melewati kota ini seperti kota-kota yang lalu : rapat, tidur, lalu rapat lagi, dan pulang. Itu saja. Tapi info-info singkat Laily membuat saya bertekad membuat malam di Kediri berbeda dengan di kota lain. Tapi apa mau dikata. Maksud hati memeluk gunung, apa daya rapat berlarut-larut, hingga sekarang jam setengah satu.

Saya dirundung galau. Besok agenda masih banyak, dan bukan hanya di Kediri. Badan saya capek, tapi hasrat saya menggebu-gebu. 'malam hari,jam 9an pas toko di jalan dhoho ud tutup,di sepanjang trotoar jalan dhoho jd lokasi kuliner pecel tumpang kdr mas,uasik deh pokok e.' Sepenggal SMS siang tadi yang semakin memompa hasrat saya untuk keluar dari hotel. Hmm, toh, cuma di depan ini.

Akhirnya saya bergegas kembali ke kamar, lalu berganti kaos. Sengaja saya tinggalkan hape dan arloji, agar tidak ada gangguan ataupun petunjuk jam. Saya ingin menikmati malam ini di pinggir jalan sepuas mungkin. Kemudian saya meninggalkan kamar dan membawa kunci berbentuk kartu ini. Beruntung kamar itu hanya untuk saya sendiri, jadi tidak akan ada yang terganggu kalau saya pulang agak pagi,hehe.

Jalan Dhoho malam itu lumayan gelap, mungkin karena seluruh toko sudah tutup semua. Digantikan oleh warung-warung dadakan misbar (gerimis bubar) yang menjual nasi goreng dan yang istimewa, pecel tumpang. Saya berjalan sebentar di sepanjang trotoar untuk melihat-lihat, hanya ingin memastikan bahwa para penjual nasi benar-benar tersebar di sepanjang jalan ini.

Saya kemudian memilih sebuah warung yang cukup ramai (bukankah ramai menandakan enak??!!). Saya langsung memesan se-pincuk nasi pecel tumpang plus paru goreng dan segelas es teh hangat. Setelah mendapat apa yang saya pesan, saya mencari posisi di sebelah bapak tua yang juga sedang menikmati malam ditemani menu makanan yang sama dengan saya. 

Kami ngobrol ringan, tentu saja dengan saya awali perkenalan khas saya, yaitu bahwa saya besar di Madura jadi kurang pandai berbahasa jawa dan hanya bisa berbahasa indonesia. Bapak itu bercerita tentang putri bungsunya yang baru menikah bulan lalu kemudian ikut suaminya ke rantau, dan juga tentang jempol kirinya yang siang tadi teriris gergaji dan dibalut perban di Puskesmas. Beliau menceritakan kisah-kisah itu dengan  nada dan suara yang cenderung riang menurut saya. Entahlah. Sepertinya saya harus belajar pada beliau tentang menikmati kehidupan.

Sedikit tentang nasi pecel tumpang khas Kediri. Jangan berharap rasanya seperti pecel di Kota Malang atau di Blitar yang cenderung manis. Pecel tumpang Kediri rasanya asin. Terus terang, saya kurang bisa menikmatinya, karena selain saya tidak suka sayur, saya juga pecinta rasa manis, jadi rasa asin kurang dapat diterima dengan baik. Apalagi itu adalah pecel !!!. Dan entah ada apa dengan kuliner kota ini, rasa teh manisnya juga cenderung manis agak asin, mirip oralit. Ahh, terkadang makanan khas tidak selalu berarti enak.

Tapi saya sungguh menikmati suasana malam di jalan ini. Seakan terjaga dalam tidur. Orang-orang datang untuk nongkrong di jalan untuk melepas beban kehidupan. Untuk sedikit beristirahat dari terik. Seakan tidur, namun terjaga, dan tentu saja, mulut mengunyah.

Tak lama, datang segerombolan pengamen. Mereka membawa gitar, biola, bass betot (bass yang ukurannya besar; contra-bass), dan conga (gendang yang dimainkan berdiri dan bagian bawahnya bolong). Lagu yang dimainkan adalah lagu Armada - Mau Dibawa Kemana. Mereka sangat piawai, dan memainkan dengan sangat merdu dan attraktif. Ahh, saya sedikit menyesal tidak membawa hape untuk merekam mereka.

Setelah agak lama ngobrol dengan bapak tua tadi, udara dingin mulai terasa. Mata saya juga sudah mulai berat. Sepertinya memang harus segera kembali ke kamar, berendam air hangat sebentar, lalu tidur lelap. Sambil melangkah, saya berpikir bahwa suatu hari nanti, saya harus kembali ke kota ini khusus untuk menikmati suasana malam di jalan ini dan juga di Simpang Lima Gumul. Ya, semoga malam ini bukan jadi kali terakhir.

Akhirnya, teruslah Bersinar Terang bahkan di kala gelap, Kota Kediri.

Senin, 14 Mei 2012

Masa-Masa Penuh Doa dan Harapan

Ternyata laki-laki.

Setelah beberapa bulan terkahir ini penasaran dengan kelamin anak pertama yang sedang di dalam kandungan istri saya, akhirnya tepat 7 bulan kami mendapat kabar gembira. Hasil USG menunjukkan adanya batang melintang di antara kedua kaki mungil bayi kami, yang menandakan bahwa kelaminnya laki-laki. Rasa syukur segera memenuhi hati dan perasaan kami. Ya, kami memang tidak mentargetkan bayi kami harus laki-laki atau perempuan. Apa saja asal sehat dan pintar. Berbakti pula tentunya. Kami selalu berpendapat, jika anak ini cowok, artinya dia akan menemani ayahnya berolahraga dan suatu saat nanti siap meneruskan semua usaha yang telah kami rintis. Jika perempuan, artinya nanti dia akan menemani mamanya masak dan akan ngomel2 setiap ayahnya mbangkong.hehehe

Segera saja kami memberitahu kabar itu kepada keempat orang tua kami (orang tua di Batu, dan orang tua di Bangkalan) serta beberapa teman dekat. Semua mengatakan bahagia, dan mengirimkan doa terbaik untuk calon jagoan kami. Ternyata, keempat orang tua kami sudah memprediksikan kalau anak ini laki-laki. Sedikit berbeda dengan pendapat pribadi saya yang sempat mengira dia adalah perempuan.

Memang beberapa minggu setelah pernikahan, saya bermimpi bertemu dengan awan yang mengatakan bahwa anak pertama saya adalah perempuan. Saya bercerita pada istri saya, dan spontan kami memikirkan nama untuk anak kami jika memang perempuan. Nama Zizi dipilih, dengan ribuan alasan yang mendorongnya. Yang pasti, kami suka nama Zizi.

Hanya, sedikit berbeda dengan mimpi saya, pada awal kehamilan ibu mertua saya bermimpi punya cucu laki-laki. Begitu pun ayah saya di Bangkalan, yang memang terkenal pahit lidah, memprediksikan bahwa anak pertama kami laki-laki. Dan mungkin prediksi yang muda-muda seperti kami tidak setepat prediksi ayah dan ibu. Terbukti, hasil USG menyatakan anak kami adalah laki-laki.

Langsung saja hari itu kami memikirkan nama bayi. Nama Aldila akan menjadi awalan, karena merupakan gabungan dari nama orang tuanya. Aldila memiliki makna Anak Lelaki Dimas dan Lisa. Setelah nama awal ketemu, lalu nama berikutnya akan ditentukan sebaik mungkin, karena nama kedua dan ketiga adalah doa kami, orang tuanya, untuk anak kami yang akan menjelajahi dunia di atas namanya sendiri. Terpikir nama Muhammad II Al-Fatih, Sultan dari Kerajaan Turki Utsmani yang berhasil memimpin pasukannya merobohkan benteng kokoh Konstantinopel demi kejayaan Islam. Nama Dzulqarnain, sang raja Macedonia, atau Dzulfiqar, pedang bermata dua milik Ali ra. juga terpikirkan.

Setelah memikirkan agak lama (sekitar dua hari), akhirnya nama panggilan Zaki kami pilih. Az-Dzaki berarti pandai atau cerdik. Dan beberapa alternatif nama lengkap pun sudah kami pikirkan, hanya tinggal menunggu waktu untuk membelai rambutnya dan membisikkan nama lengkapnya nanti setelah dia lahir di dunia.

Akhirnya, masa-masa ini adalah masa-masa yang penuh dengan doa dan harapan untuk kehadirannya. Semoga anak pertama kami ini lahir dengan selamat, dan menjadi matahari di tengah keluarga kecil kami. Tidak sabar untuk segera bertemu denganmu, Zaki.

Sabtu, 14 April 2012

Tentang mereka yang masih mau belajar

Dua orang itu datang ke kantor Kursus Bahasa Inggris kami, Super Smart Study Center, berharap bisa mengikuti proses pembelajaran Bahasa Inggris. Tentu saja kami terperangah. Dua orang itu bernama Pak Arifin dan Pak Munadi. Mereka sudah seusia ayah-ayah kami, setidaknya usia mereka sudah menginjak 40 tahunan. Namun semangat mereka untuk ikut belajar masih menggebu-gebu. Entah apa tujuannya, yang pasti keinginan mereka berhasil membuat kami luluh.

Namun masalah langsung muncul. Tentu tentang kelas mereka. Kami sudah memiliki beberapa kelas Bahasa Inggris terdiri dari beragam usia. Ada yang SD, ada yang SMP, dan ada yang untuk SMA. Namun belum pernah kami membuka kelas untuk usia di atas 30 tahun. Ide untuk menggabungkan kelas bapak-bapak itu dengan kelas SMA kami urungkan, karena kemampuan Bahasa Inggris mereka bisa dibilang pemula sekali, sedangkan rata-rata siswa kelas SMA kami sudah mampu melakukan English Debate.

Memang jalan keluar yang ada hanyalah memasukkan Pak Munadi dan Pak Arifin ke kelas privat. Dengan jumlah siswa yang tidak sebanyak kelas reguler (hanya mereka berdua), pasti mereka dapat belajar dengan lebih intensif. Namun, karena keistimewaan kelas privat ini, harga untuk setiap pertemuan membuatnya jauh lebih mahal daripada kelas reguler.

Inilah yang menjadi masalah berikutnya. Pak Arifin dan Pak Munadi bukanlah bagian dari masyarakat atas maupun menengah. Menengah bawah, itu mungkin kualifikasi mereka. Dan menjangkau harga kelas privat tentu memberatkan mereka, yang juga harus menghidupi keluarga mereka. Pak Munadi hanyalah seorang makelar kecil-kecilan, dan Pak Arifin tidak lebih baik, hanya seorang pengamen yang kadang ikut orkes.

Akhirnya, setelah berdiskusi sebentar dengan Adhy, rekan pengelola di tempat kursus, kami sepakat untuk memberi harga seminimal mungkin untuk bapak berdua itu. 50% potongan, yang penting mereka mau belajar dengan semangat. Ditambah satu syarat, yaitu mengajak 1 orang teman lagi. Jadi setidaknya, biaya kursus mereka setiap pertemuan sudah dapat membayar insentif mentor. Bahkan mereka kami beri keringanan untuk membayar biaya pendaftaran di belakang. Entah kapan, kami sama sekali tak mengharapkannya.

Beberapa hari kemudian, mereka datang lagi untuk memulai kelas pertama. Dinda, sang mentor juga sudah siap memberi materi pengenalan Bahasa Inggris. Yang cukup menggelikan adalah mereka malam itu hadir dengan pakaian rapi, berkemeja dan bersepatu kulit. Hingga saat ini pun selalu seperti itu. Mereka sepertinya benar-benar ingin menghargai pengalaman demi pengalaman yang akan mereka dapatkan disini.

Kelas sudah disiapkan, spidol sudah diisi tinta, dan kursi sudah ditata. Mereka pun belajar dibawah bimbingan Dinda. Kami di kantor harap-harap cemas menunggu mereka keluar. 1,5 jam kemudian, Dinda keluar. Kelasnya sudah selesai. Namun Pak Munadi, Pak Arifin, dan Pak Zul (rekan mereka) masih belum keluar. Bahkan hingga Dinda pamit pulang 10 menit kemudian, mereka belum keluar. Saya mengintip ke ruang kelas dari celah jendela, penasaran dengan apa yang mereka lakukan. Mengejutkan. Mereka berdiskusi tentang materi tadi. Bahkan mereka juga mempraktekkan kata demi kata, kalimat demi kalimat yang tertulis di papan tulis.

Saya benar-benar terkesima. Sepanjang hidup saya, belum pernah saya melihat orang-orang yang sebegitu menghargainya terhadap ilmu pengetahuan. Mereka bertahan di kelas, tetap perhatian terhadap papan tulis, dan mengulang kembali pelajaran-pelajaran yang mereka dapatkan baru saja. Saya, dengan mata kepala saya sendiri, melihat Pak Arifin memimpin teman-temannya (kalau boleh mengatakan, mengajari) teman-temannya untuk mengucapkan maupun menghafal setiap kata-kata baru yang mereka dapatkan. Bahkan guru mereka sudah pulang dari tadi!!!

Saya kembali ke kantor, lalu termenung. Saya mengingat-ingat kembali masa-masa belajar saya dulu, baik di kampus maupun di sekolah. Saya menyadari bahwa saya termasuk orang-orang yang sombong, yang bahkan tidak ingin kehilangan 1 menit pun dari waktu santai untuk belajar. Saya dulu adalah anak yang berteriak paling kencang saat bel pulang berdering, atau menirukan suara bel saat waktu pulang kurang tiga menit. Saya mungkin juga mahasiswa yang paling sering melirik jam dinding atau jam di hape untuk memastikan dosen saya tidak melewati waktu selesai kuliah.

Kini saya benar-benar tergugah oleh ketiga bapak itu. Mereka adalah orang-orang yang memuja dan menghargai pelajaran. Bukankah ilmu itu adalah kalimat Tuhan, dan ilmu juga adalah nama Tuhan. Kenapa saya selama ini justru membiarkan diri saya pelit waktu terhadap Tuhan?

Akhirnya saya ingin menyadari bahwa ketiga bapak itu sesungguhnya adalah guru saya, guru untuk memuja Tuhan lebih dalam lagi.

Selasa, 10 April 2012

Ikan Saya Belum Diberi Makan

Dulu saya membuat blog ini untuk menulis apa yang ada dalam pikiran saya. Tentang kisah ringan, hingga kemarahan-kemarahan. Blog ini memang tidak pernah menjadi rutinitas. Saya hanya menganggapnya sebagai keset rumah, saya injak ketika kaki saya kotor, atau ketika saya merasa saya harus menginjaknya.

Begitu juga hari ini, saya membuka lagi blog ini iseng-iseng dan melihat kotak kecil berisi ikan-ikan elektrik warna-warni. Saya kaget, sudah berapa lama saya tidak memberi makan ikan saya? Sudah sekitar 4 bulan!!! Dan ikan-ikan itu masih hidup, tetap bergerak lincah, menunggu diberi makan oleh pemiliknya yang pelupa.

Saya hanya berharap, saya bisa lebih meluangkan waktu untuk setidaknya memberi makan ikan-ikan kecil itu.

Doppleganger

Doppleganger adalah sebuah kepercayaan tentang seseorang yang memiliki kembaran fisik di dunia ini, meskipun sifatnya berbeda. Banyak versi tentang kepercayaan ini, mulai dari kepercayaan bahwa setiap orang memiliki 7 dopplegangers, hingga kepercayaan bahwa seseorang yang telah memiliki doppleganger akan terselamatkan dari bencana, bahkan meraih kesuksesannya.

Banyak orang yang kemudian menyikapi kepercayaan doppleganger ini dengan sangat berlebihan, diantaranya dengan berkelana mencari kembarannya, atau memasangkan iklan-iklan untuk mencari seseorang yang secara fisik mirip dengannya. Tidak hanya itu, para pelaku bisnis juga menggunakan kepercayaan tentang doppleganger untuk meraup pundi-pundi uang. Tentu kita masih ingat acara ASAL (Asli atau Palsu) di salah satu stasiun televisi swasta beberapa tahun lalu. Dengan mempertemukan para tokoh dengan orang-orang yang mirip dengannya, acara ini sempat meraih rating yang lumayan di kala itu.

Namun, terlepas dari doppleganger kita yang mungkin saat ini sedang berkeliaran di bagian dunia yang lain, kita juga harus menyadari bahwa diri kita sendiri juga merupakan doppleganger dari diri kita sebelumnya. Pernahkah kita menyadari bahwa kita yang saat ini, bukanlah diri kita lima tahun yang lalu. Sesuatu dalam diri kita berubah. Lima tahun yang lalu, atau mungkin bulan lalu, atau mungkin kemarin, kita bisa pastikan bahwa kita berbeda dengan kita saat ini. Bahkan meskipun secara fisik tidak berubah, kita pasti menyadari bahwa semesta mengajari kita sesuatu, yang kemudian mengubah pemikiran dan kepribadian kita. Dan saat kita benar-benar menyadarinya, kita akan menemukan bahwa diri kita saat ini adalah orang berbeda dengan diri kita kemarin, namun dengan fisik yang sekilas sama.

Dan di saat itulah, kita menyadari bahwa kita adalah doppleganger dari diri kita yang sebelumnya.