Kamis, 20 Oktober 2011

Kisah Seorang Mutiara

Terkadang kita lupa untuk sekedar mengucapkan syukur atas apa yang kita miliki hari ini.


Terhitung sejak dua hari yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pemuda asli Kota Batu, bernama Adi. Dia adalah teman istri saya semasa SMA, dan kami berkenalan dalam membantu usahanya yang baru akan dirintis. Seorang teman baru, yang mungkin dalam beberapa waktu ke depan akan sangat intens berkomunikasi dengan saya dan istri saya.

Mengenalinya dalam waktu yang singkat ini membuat saya mengingat kebesaran Tuhan dalam menentukan langkah yang dilalui oleh makhluknya. Ya, dia adalah seorang pemuda biasa, seperti pemuda-pemuda lainnya. Anak band, pacaran, pakaian up-to-date seperti pemuda-pemuda lainnya. Namun ternyata Tuhan sangat berkuasa atas membuat teman saya ini berbeda dengan yang lain. Ketika yang lain mengejar jabatan di perusahaan-perusahaan multi-nasional atau menjadi aparatur negara dengan gaji yang melimpah, Adi memilih membenamkan dirinya untuk mengajar di sebuah Sekolah Luar Biasa.

Kisah perkenalan ‘anak band’ ini dengan sebuah SLB di Kota Batu cukup mengherankan. Dia ditawari mengajar musik di sebuah sekolah yang fasilitas studionya cukup lengkap. Mengajar musik sebenarnya bukan sesuatu yang sulit untuk seorang musisi sepertinya. Namun yang akan diajar adalah anak-anak yang memiliki keterbelakangan, baik fisik maupun mental. Dan sangat mengejutkan juga, bahwa Adi menerima tawaran itu, tepat beberapa hari setelah Ujian Akhir SMA 2007.

Pada hari pertamanya, dia datang dengan dandanan anak band-nya : celana jeans belel dan rambut gondrong. Kedatangannya disambut dengan pandangan heran siswa-siswa SLB, yang kemudian membuntutinya ke Kantor Kepala Sekolah sambil berteriak-teriak “Ada anak Punk.. Ada anak Punk” serta menungguinya keluar sambil tiduran di lantai kantor. Adi bercerita bahwa saat itu dia mendapat kesan yang tidak nyaman dari siswa-siswanya.

Siswa-siswa Adi bermacam-macam keadaannya. Ada yang terlihat biasa-biasa saja, namun tidak mendengar jika dipanggil. Ada yang tidak memiliki tangan dan kaki, namun dikaruniai suara yang sangat indah. Ada yang selalu terlihat kosong namun ternyata pandai menghitung. Ada pula yang selalu berpura-pura mengerjakan soal, namun kertasnya kosong. Dan yang lebih menyedihkan, ada yang secara fisik kurang mampu, dan mentalnya juga tidak dapat diharapkan.

Hari-hari pertama Adi dilalui dengan perasaan yang tidak menentu. Dia mengajar siswa-siswa Tuna Grahita hingga Tuna Rungu cara bernyanyi atau bermain alat musik. Tentu sangat berbeda dengan mengajari orang normal bermusik, karena siswa-siswanya membutuhkan waktu berbulan-bulan hanya untuk bisa bernyanyi lagu ‘Balonku’, atau memainkan satu lagu singkat dengan gitar. Belum lagi banyak dari mereka yang susah dikendalikan dan sering membuat kekacauan.

Di SLB itu, jumlah guru tidak selengkap di sekolah-sekolah normal lainnya sehingga Adi juga mengajar olahraga. Selang beberapa bulan, Adi diangkat menjadi guru kelas Tuna Rungu. Dia memberi pelajaran lengkap sesuai kebutuhan anak-anak didiknya, tentu saja dengan bumbu-bumbu kejengkelan atau kelucuan yang tidak akan pernah ditemukan di sekolah normal.

Di antara cerita-cerita Aldi, saya merasakan betapa perjuangannya sangat keras untuk mendidik ‘anak-anak khusus’ disana. Mulai dari menghafalkan bahasa-bahasa isyarat hingga berusaha membangkitkan semangat mereka. Tidak jarang Adi mendapat perlakuan yang tidak baik, mulai dari ditendang siswanya yang rata-rata seusia dengannya sampai merasakan diludahi. Namun Adi tetap berhati besar untuk tidak menyerah. Dan yang lebih membuat terharu adalah, Adi melakukan semua itu untuk gaji yang hanya 100 ribu rupiah per bulan.

Kebesaran hati Adi ternyata membuahkan hasil. Dia berhasil membawa siswa-siswa istimewanya menjadi juara di hampir seluruh kejuaraan yang mereka ikuti, mulai dari lomba menyanyi tingkat Propinsi dan Nasional, lomba mata pelajaran, dan lomba olahraga. Itu menjadi hiburan tersendiri bagi Adi di antara perjuangan kerasnya. Di samping itu, mengajar SLB juga cukup menggelikan baginya. Adi berkisah tentang perjuangannya memberi isyarat pelanggaran atau off-side pada para penyandang Tuna Rungu saat bermain sepak bola. Dia juga bercerita tentang rasanya ditembak oleh siswinya yang berkebutuhan khusus, serta perjuangannya untuk menolak pernyataan cinta itu.

Salah satu yang cukup menggelikan adalah pada saat terjadi gempa bumi beberapa hari yang lalu. Saat itu Adi langsung membawa siswa-siswa Tuna Grahita maupun yang cacat fisik untuk turun ke halaman sekolah. Setelah sampai di bawah, Adi lupa bahwa siswa-siswa Tuna Rungu tidak dapat mendengar keributan yang terjadi. Dia segera menoleh ke lantai dua, tempat siswa-siswa Tuna Rungu belajar. Sungguh miris, disana dia melihat sekumpulan orang-orang yang tak dapat mendengar itu tersenyum lebar sambil melambaikan tangan ke arah kawan-kawannya yang sudah di halaman. Siswa-siswa Tuna Rungu tidak mendengar apa yang terjadi, tapi mereka dapat melihat bahwa teman-teman mereka berkumpul di halaman, sehingga mereka kemudian melambaikan tangan mereka dengan polos. Adi segera berlari ke lantai dua untuk mengajak mereka turun ke halaman.

Namun tentu saja, kekurangan mereka tetap meninggalkan kisah-kisah yang menyayat hati. Ada beberapa di antara siswi Adi yang dihamili oleh orang-orang berhati bejat, yang semakin menyuramkan masa depan mereka. Ada pula yang kemudian terusir dari keluarganya, lalu menjadi pengamen di alun-alun dengan bermodalkan lagu Balonku yang hanya hafal dua baris awal yang disambung dengan dua kalimat syahadat. Sungguh miris saat Adi bercerita tentang orang-orang yang tak beruntung itu.

Adi sungguh mengesankan. Saat pemuda normal seusianya saling bersaing menjadi mutiara terbaik seperti yang diimpikan, Adi memilih untuk menjadi mutiara yang menerangi kerikil-kerikil di kedalaman laut. Setidaknya, dia sudah membuktikannya bahkan sejak ijazah SMA nya belum ditandatangani.

Senin, 10 Oktober 2011

MEMBACA REMBULAN

Membaca rembulan.

Sejak kecil saya selalu suka melihat rembulan yang bersinar kekuningan, tak peduli apa bentuknya. Entah sabit, setengah lingkaran, atau lingkaran penuh. Bulan adalah cermin sebuah perjalanan, yang entah mengapa berpola melingkar-bersinambungan (continuous loop). Bisa jadi malam ini bulan masih berbentuk sabit runcing, dan esok akan meneruskan perjalanannya menjadi lingkaran penuh. Namun bulan akan kembali lagi pada bentuknya malam ini, sabit runcing, suatu saat nanti. Tidak selesai pada bentuknya saat itu, bulan selalu berjalan menjadi bentuk-bentuk yang pernah dia buat. Atau pergi menghilang dari malam, seolah bosan berjalan, tapi esok dia akan berjalan lagi. Tidak pernah selesai.

Perjalanan abadi bulan menjadi kumpulan pertanyaan, sejak kapan dan hingga kapan.
Sejak kapan bulan memulai perjalanannya? Dalam bentuk yang seperti apa? Apakah bulat penuh, atau setengah penuh, atau sabit runcing?
Dan hingga kapan perjalanannya akan berakhir? Dalam bentuk apakah bentuk terakhirnya?

Lantas, dalam perjalanannya, apakah bulan tidak bosan terjebak dalam kemonotonan perjalanannya?
Apakah mungkin bulan malam ini, entah apa bentuknya, adalah bulan yang berbeda dengan kemarin? Hanya berbeda shift saja.
Ataukah dalam setiap peredarannya, bulan lupa bahwa dia pernah melewati itu semua, sehingga dengan senang hati dia kembali berjalan seperti kemarin?

Apakah perjalanan continuous loop bulan adalah perjalanan kita semua?
Lahir, berjalan, bermain, tumbuh dewasa, menikah, memiliki keturunan, lalu meninggal, dan hidup lagi untuk menuju dewasa dan meninggal lagi.

Lalu, dalam perjalanan kehidupan kita, tentang perjalanan hidup kita, apakah kita juga demikian?
Apakah kita sebenarnya dibuat menjadi lemah dan lupa bahwa kita pernah menjalani kehidupan sebelumnya?
Siapakah saya di kehidupan sebelumnya?

Sementara saya terus bertanya, rembulan terus berjalan...

Minggu, 09 Oktober 2011

PENDEKAR JURUS MABUK

Sebuah catatan dari seorang dosen..

Di suatu negeri lahirlah seorang pendekar perempuan hitam kekar. Wajahnya menakutkan. Tutur katanya halus tetapi berdarah dingin. Di tangan kanannya digenggamlah surga dan tangan kirinya neraka. Dia menguasai sebagian wilayah negeri. Yang tidak menurutnya apalagi melawan, dimasukkannya ke dalam wajan penggorengan, neraka miliknya. Yang selalu menurutnya tentu surga yang didapat. Karena kekejamannya itu sudah beberapa rakyatnya yang menjadi korban. Mereka disiksa dengan kesulitan dan ketakutan hidup. Tirani, tidak ada satupun yg bisa menjatuhkan. Hidup dalam ketakutanlah yg dirasakan oleh rakyatnya. Jurus mabuk adalah strategi mengatur negerinya.

Sebenarnya di negeri itu sudah ada para kesatria dan pemikir cerdas yang siap menghadapi kedholiman pendekar. Namun, aksi mereka sedikit terkecoh oleh beberapa rekan yang bersikap ambigu karena sudah pernah mencicipi surga pendekar, uuuuenak katanya, bahkan ada yg bilang "alhamdulillah". Padahal sedikit , tak sebanding dengan apa yg dirasakan rakyat akibat kekejaman pendekar. Di lain pihak, ada yg berpesta api unggun ingin menyaksikan kemenangan pendekar karena ia mendapat iming-iming surga.

Oya, umur si pendekar itu ya sudah renta, sudah sering sakit-sakitan, tapi gak mati-mati karena punya kekebalan ilmu hitam. Bergurunya jauh sekali, di luar negeri. Tapi dasarnya memang berhati hitam, selegam kulitnya, jadi, yang dicari ya ilmu-ilmu hitam. Misalnya, bagaimana supaya rakyatnya yang cerdas tapi tidak ia sukai itu menjadi bodoh, tidak mendapat kesempatan mencari ilmu. Bagaimana supaya kesatria pangkatnya tidak naik-naik karena selalu mengkritisi jurus-jurus mabuknya. Dan sengaja rakyatnya dibuat kacau berebut makan. Dia meringis kalau menyaksikan rakyatnya itu berjubel dan berbaku hantam satu sama lain, berebut tetesan surga yang dikucurkan dari tangannya- yang sebenarnya mereka adalah orang-orang baik-.

Sebagai pendekar yang cukup ditakuti di wilayahnya tentu ia memiliki para pengikut setia. Tingkah polah dan sikap para pengikutnya, pasti tidak jauh beda dengan si pendekar itu. Bagi para pemikir dan kesatria yang pernah menempuh ilmu di perguruan yang mengedepankan moralitas, perilaku mereka itu sebenarnya tidak pantas dijadikan para punggawa. Tapi, ya, karena ini kan pemimpinnya orang hitam luar... dalam dipastikan orang-orang yang terpilih juga yang suka berhati hitam. Mereka suka menjilat sudah barang tentu. Omaongannya sulit bisa dipercaya dan suka makan hak orang lain. Kalau ngomong, nerocos, seolah-olah dia pintar dan beraliran orang putih, berputar-putar dan suka bersilat lidah. Misalnya dia mengatakan "kamu harus berterima kasih kepada lembaga (pendekar) yang telah membantu kamu". Padahal, sebenarnya mitra tutur itu punya hak yang lebih menurut ketentuan di pusat. Mulutnya suka komat-kamit ke sana kemari untuk memperlihatkan pada yang lain bahwa dia adalah orang sakti karena dekat dengan sang hyang widi. Para punggawa itu sangat setia karena di samping merasa seperguruan, juga merasa sangat senang dan berterima kasih atas jasa-jasa pendekar yang mengubah drastis hidup mereka dan status sosialnya, bisa bergelimang manisnya surga buatannya. Begitu menjadi punggawa, jiwa uforianya langsung muncul seolah-olah dia tidak akan pernah bernasib seperti rakyat yang lain -yang sengsara-.

Tentang penidikan para punggawa itu, sebetulnya awalnya biasa-biasa saja. Mereka menjadi top karena difasilitasi oleh pendekar untuk maju, sehingga mereka bisa belajar ilmu di beberapa perguruan bonafit dalam dan luar negeri. Bahkan, ada punggawa yang status pendidikannya tidak jelas karena sebelumnya ijazahnya hanya pendidkan khusus/seperti kursus di perguruan tertentu, bukan ikut kelas reguler, ...sehingga secara keilmuan pun memang meragukan kesaktiannya, kecuali dalam strategi perang. Mereka sudah canggih karena sejak awal dia selalu berpikir trik berperang. Ya...intinya yang penting menang. Jiwa kejam itu sudah melekat sejak awal pada para penganut ilmu hitam. Tidak ada dalam pikiran mereka idealisme itu bagaimana, padahal sebagian tugas mereka adalah menjadi guru. Mereka berpikir sangat praktis, yang penting dapat tiket masuk surga itu. Mereka sangat tidak cocok dengan orang-orang yang mengedepankan idealismenya. Mereka sering mengatakan bahwa para kesatria itu banyak omong atau provokator. Padahal, bagusnya negeri itu berawal dari hal-hal yang ideal dan idealisme adalah paradigmanya. Para kesatria itu menginginkan hal-hal ideal itu diterapkan di perguruannya karena disitulah pribadi bangsa di bentuk, sehingga perguruan menghasilkan lulusan-lulusan yang berkarakter atau bermoral baik.

Dasarnya memang para punggawa berhati hitam sehitam hati boss, meskipun dapat ilmu baik-baik di negeri seberang, kembali ke tempat asal ya, tetap tidak baik. Misalnya, sekarang bilang A besok ganti B. Dalam waktu sehari lidahnya sudah terbalik. Memang ini persis yang dilakukan oleh pendekar jurus mabuk. Pernah dia mengumpulkan rakyat supaya melanjutkan sekolah agar kualitas kerajaan membaik. Denga...n spontan rakyat yang polos dan jujur menangkap wejangan itu dengan suka cita. O...ternyata pendekar hitam ini baik juga, orangnya berpikiran maju. Akhirnya, beberapa rakyat yang semangat sekolah memilih tempat pendidikan yang bagus, yang diidam-idamkan banyak orang. Oalah, apa lacur...ternyata yang dimaksudkan oleh pendekar itu supaya rakyatnya itu segera sekolah di tempat belajarnya yang dulu. Mungkin ada kerja sama dengan para pendekar di sekolahnya yang terdahulu itu. Dan, ternyata pendekar hitam itu sudah membuat aturan licik (karena kekuasaannya, meskipun terkesan dipaksakan, mengada-ada). Intinya, yang berguru di tempatnya dulu, akan tetap mendapat gaji, sedangkan yang di luar daerahnya, gaji dihentikan. Aturan yang dibuat sendiri dan mengada-ada karena menurut sistem pemerintah pusat, kebijakannya tidak seperti itu. Pokoknya jurus mabuknya selalu dipakai untuk apa saja yang ia inginkan. Biar para pembaca tahu ya...di perguruan tempatnya yang dulu itu sebenarnya ilmunya juga baik-baik. Namun, kabarnya, para lulusannya itu kalau bekerja dan berorganisasi juga suka memakai jurus mabuk. Jurus mabuk itu ya ngawur yang penting dapat, dan suka main keroyok tidak layaknya para kesatria dari perguruan lainnya.

Dalam hal keroyok-mengroyok, para punggawa sangat kompak. Bila ada orang yang sama ilmunya di tengah-tengahnya tapi dari perguruan yang lain, mereka menganggap itu sangat berbahaya dan harus dimusnahkan. Intinya, mereka berpikiran bahwa orang yang bukan dari kelompoknya adalah musuh, terlebih ia datang dari berbagai perguruan yang lebih mengedepankan moralitas itu. Mereka khawatir di samping pos...isinya tergeser juga khawatir ketahuan perilaku korupnya. Di samping memiliki kebiasaan korup, sikap komunalnya sangat tinggi. Artinya mereka akan mengundang teman sebanyak-banyaknya untuk mengeroyok makanan tanpa dipikirkan bagaimana kelanjutan cara mencari makan kerajaan. Mereka mendatangkan pasukan sekompi, juga bertujuan untuk menyingkirkan yang bukan kelompoknya. Primordial sekali dan seperti budaya masyarakat primitif. Tidak habis pikir mengapa perguruan mereka dulu membuatnya seperti itu. Para punggawa sering panik melihat para kesatria yang cerdas meskipun para kesatria sebenarnya juga tidak peduli dengan apa yang mereka lakukan. Ya, mungkin karena merasa kurang kompeten saja yang membuat mereka sering mabuk, kikuk, dan bingung pada saat menghadapi para kesatria cerdas dan pintar, tidak mau dibodohi itu. Pada saat yang demikian biasanya mereka suka mengeluarkan jurus mabuknya. Misalnya, tidak memfungsikan orang-orang cerdas itu sebagai guru. Jam mengajarnya dikurangi, tapi ngomongnya kepada yang lain adalah karena para kesatria itu sikapnya arogan, dan memang tidak mau mengajar. Kan sama persis dengan sikap pendekar mabuk itu. Kekejaman mereka dibungkus dengan kemasan bahasa yang halus dan religiusitas yang seolah baik. Semua itu tidak lain adalah untuk menutupi hal sebenarnya yang hitam kelam itu. Dan dengan bersenjatakan itu buktinya mereka mampu menyingkirkan siapapun yang dianggap lawan. Artinya, mereka bukanlan orang beragama sejati. Mudahnya, jika ada yang mau membeli mahal mereka supaya melakukan apapun sesuai dengan pesanan, dia akan lebih menunjukkan ketaqwaannya kepada sang hyang widi supaya lebih terlihat kesaktiannya.

Diantara para punggawa dholim itu ada satu yang perilakunya merupakan fotokopi pendekar. Jadi, apa yang ada dipikiran pendekar itu ada persis seperti di pikiran punggawa itu. Dialah punggawa kesayangan pendekar. Sekilas wajahnya seperti orang baik dan polos. Namun, satu jam saja bersama dia, bisa dirasakan magnetik kebenciannya kepada orang-orang yang menjunjung idealisme. Dia berjuang mati-matian untuk menjaga nama naik pendekar dan supaya pendekar tidak dijuluki sebagai pendekar jurus mabuk, karena sebenarnya julukan itu adalah cemoohan kepadanya dari para kesatria dan rakyat atas kebijakannya yang amburadul dan tidak tersistem atau bahkan terkesan primitif. Dia selalu berpenampilan ramah kepada kesatria yang dianggap musuhnya, ya halus, supaya musuhnya tidak tahu bahwa sebentar lagi dia akan mati. Ilmu licik itu seolah sudah mendarah daging di tulang sum-sumnya tanpa ada rasa bersalah sedikitpun, apalagi rasa berdosa. Makanya mereka dikatakan "berdarah dingin itu". Meskipun korban (jika rakyat) tahu akan gelagat dia ke sana (akan menghabisinya), sebagai orang yang belum pernah mengenyam ilmu hitam, apalagi mempraktikkannya, apalagi dapat gelar berhati hitam, tentu mereka berusaha bersikap polos dan selalu menjaga pikiran positif kepada punggawa seperti yang dilakukan pula oleh para kesatria. Ternyata kepolosan, kejujuran, dan etikat baik rakyat/kesatriapun akhirnya dipakai pula sebagai senjata melumpuhkan. Bahkan, semboyannya meskipun orang yang dianggap musuh/lawan sudah tinggal separuh nafas, tetap harus dihabisi.

Pendekar jurus mabuk yang berambut keriting itu sudah berkali-kali merebounding rambutnya, tapi tetap saja tidak bisa lurus-lurus, bahkan kapster sering minta ongkos dobel untuk meluruskannya karena membutuhkan waktu 3x lipat dibandingkan dengan rambut perempuan pada umumnya. Menurut kapster yang suka nginang itu (paranormal juga) yang keriting bukan sekedar rambutnya, tapi memang pikiran-pikirannya juga keriting. Dia tidak pernah berpikir lurus, sedangkan rambut merupakan bagian tubuh yang melekat pada organ kepala. Rambut itu paling dekat dengan otak manusia yang menyimpan berjuta pikiran. Jadi bisa ditebak berjuta pikiran semrawut ada di otaknya. Pantas saja kebijakan-kebijakannya semrawut juga sesemrawut rambut dan pikrannya itu. Kapster untuk meluruskan rambutnya saja perlu waktu 3x apalagi untuk meluruskan pikirannya. Memerlukan waktu 3x lipat lagi dari waktu meluruskan rambut. Bahkan kapster pernah minta ampun agar tidak rebounding lagi di tempatnya karena meskipun seperti tidur waktu direbounding pikirannya masih berjalan ke sana- ke mari yang tentu sangat merepotkan kapster. "Wah pendekar hitam ini memang tidak bisa menjadi orang putih, akan tetap hitam sampai api neraka nanti menghanguskan badannya".

Sabtu, 08 Oktober 2011

SURAT UNTUK YANG ADA DALAM TIADA

Sepucuk surat untuk yang tiada,

Tanpa tendensi apa-apa,

Tanpa kata-kata memikat rasa,

Hanya secoret tanda tangan,

Yang bertanya ‘Dimanakah anda saat malam berganti siang dan embun berceceran?’


Sepucuk surat untuk yang tiada,

Tanpa tendensi apa-apa,

Tanpa kata-kata memikat rasa,

Hanya secoret tanda tangan,

Yang bertanya ‘Apakah anda juga bersama saya atau anda hanya di angan-angan?’


Sepucuk surat untuk yang tiada,

Tanpa tendensi apa-apa,

Tanpa kata-kata memikat rasa,

Hanya secoret tanda tangan,

Yang bertanya ‘Kami bertengkar akan kebenaran, apakah anda akan memilih pijakan?’


Sepucuk surat untuk yang tiada,

Tanpa tendensi apa-apa,

Tanpa kata-kata memikat rasa,

Hanya secoret tanda tangan,

Yang bertanya ‘Kemanakah surat ini ku alamatkan? Kapankah surat ini kan kau balas?’


Sementara aku yang menunggu,

Tertembak peluru temanku sendiri,

Terperosok lubang perangkap pemimpinku,

Tertohok panah bawahanku yang primitif,

Terlindas tergilas bentuk bumi yang bulat monoton,

Dan terpasung di tengah penguasa mata angin.


Lalu kapan kau mau menolongku ?.

DISUNAT JIN

“Pak Kyai... Pak Kyai...”

Seorang lelaki 50 tahunan, bersarung dan berbaju koko, berhenti berjalan lalu menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Seorang ibu muda yang mungkin usianya belum genap 30 tahun terlihat berlari terengah-engah. Sepertinya ada hal penting yang harus segera disampaikan saat ini juga, tidak bisa tidak.

“Ada apa Nur?” tanya lelaki yang dipanggil Kyai tadi. Dia menatap ibu muda itu.

“Kasan, pak Kyai.. Huh..Huh... Kasan...” jawab Nur, berusaha mengendalikan nafasnya yang berlari kencang.

“Ada apa lagi dengan anak nakal itu? Belum jera dia ku hukum membersihkan musholla?” tanya Kyai, mencoba memahami suasana.

“Bukan pak, huh..huhh.. Kasan gak nyolong sandal lagi. Huh.. Huh.. Dia minta disunat pak.” jawab Nur, masih bergelut dengan nafasnya.

“Alhamdulillah. Anak itu sudah sadar dengan usianya sekarang. Segera kau sunatkan saja dia. Bawa ke mantri sunat di Puskesmas, jangan ke dukun. Habis nanti ‘burung’nya diparang.”

“Bukan itu masalahnya, pak Kyai.”

“Apa? Modal selametan? Minta sana sama Nyai’mu.”

“Bukan pak.”

Kyai mengernyitkan dahi, penasaran dengan masalah yang dimaksud Nur.

“Kasan minta disunat sama jin, pak.”

***

Sudah seminggu berita Abdullah dan Rohim disunat jin menjadi bahan pembicaraan orang-orang sekampung. Tidak ada yang dapat mencerna dengan akal sehat, ketika dua orang anak pulang menjelang maghrib dari bermain bola dengan memegang kemaluan masing-masing. Mereka bercerita sambil menangis, katanya baru saja bertemu orang tua berambut putih di bawah pohon bambu angker di ujung jalan. Orang tua itu memegang kemaluan kedua anak itu, dan tiba-tiba ‘burung’ yang masih berparuh itu sudah ter-sunat rapi. Tanpa sakit. Tanpa jarum suntik, gunting atau parang. Dan hebatnya lagi, langsung kering, seakan sunatnya sudah sebulan yang lalu.

Orang tua kedua anak itu sangat terkejut. Belum terpikir rencana mereka untuk menyunat anak-anak bandel itu. Tentu masalah biaya menjadi alasan utama, terutama biaya selamatan. Tapi dengan kejadian itu, mereka akhirnya mau tidak mau memotong ayam dan meminjam uang ke tetangga untuk acara selamatan khitan. Sementara teman-teman Abdullah dan Rokim berkumpul tiap hari di rumah mereka untuk mendengar kisah yang telah diulang-ulang hingga ratusan kali.

Kyai Jalaluddin, guru ngaji Abdullah dan Rokim, menggeleng-geleng kepala saat mendengar kabar dikhitannya dua murid ngajinya. Tentu bukan khitannya yang membuatnya heran, melainkan pelaku yang mengkhitan kedua anak itu dengan hasil yang sedemikian rapinya. Ketika diminta komentar, Pak Jalaluddin memilih aman dengan membaca kalimat tasbih. Komentar Kyai Jalaluddin semakin membuat warga percaya bahwa jin memang pintar mengkhitan anak-anak kecil.

***

Dan sekarang, Pak Kyai kembali menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak habis pikir, kepercayaan masyarakat terhadap sebuah kejadian mistis sangat besar. Kali ini dia melihatnya dari seorang anak kecil bernama Kasan, yang meminta disunat oleh jin.

Setelah Nur bercerita lengkap tentang rengekan Kasan untuk dikhitan oleh jin, Pak Kyai akhirnya bersedia bertamu ke rumah Nur. Disana sudah ada Pak Jumino, ayah Kasan, duduk di teras bersama Kasan dan Pak Suyono, kakak Nur. Setelah mengucapkan salam, Kyai Jalal lalu mengelus-elus kepala Kasan. Yang dielus Cuma nyengir-nyengir kuda.

“Kamu katanya pengen disunat, San?” tanya Kyai Jalal.

“Enggih, Pak Kyai.” Jawab Kasan, sambil tetap nyengir.

“Ya ayo, ta’ anter ke Puskesmas. Mantri sunatnya teman saya.”

“Nggak mau, Kyai. Saya ingin disunat sama Jin aja, kayak Rohim sama Abdullah.”

“Lho, kenapa kok pengen disunat sama Jin?” Kyai Jalal mengernyitkan dahi.

“Katanya Rohim, enak, Kyai. Gak sakit. Tau-tau udah kering. Saya ingin yang kaya’ gitu, Kyai.”

“Emang Jin mau disuruh nyunat gitu?”

“Mau, Kyai. Itu Rohim sama Abdullah.”

“Kamu tau dari siapa kalo yang nyunat Rohim sama Abdullah itu Jin?”

“Katanya orang-orang, Kyai.”

“Gimana ceritanya Jin kok nyunat gitu?”

“Kata Mas Abul, ada doa nya, Kyai. Rohim sama Abdullah itu baca doa nya pas malam tanggal 15 kemarin. Itu doa nya buat janjian sama Jin nya, kalo Jin nya bisa, ya nanti datang nyunat. Tapi kalo mau baca doa nya, harus mandi air dari 7 selokan dulu, terus nyembelih ayam hitam.”

“Waduh, koq ada doa nya juga. Saya malah nggak tahu itu, Kyai.” sela Pak Jumino, sambil menyeruput kopinya yang baru datang.

“Loh, iya pak. Itu Mas Abul yang cerita.”

Sementara Kyai Jalal tetap mengelus-elus kepala Kasan. Dia terdiam, seperti tengah berpikir. Tak lama, Kyai pamit pulang. Kasan, Bu Nur dan Pak Jumino melongo, hanya bisa melihat Kyai melangkah menjauh.

***

Malam tanggal 15 bulan berikutnya, tampak seorang pemuda berusia 17 tahunan berdiri di tengah kerumunan orang-orang. Pemuda itu terlihat sangat serius. Di sekelilingnya terdapat 2 ember besar dan 1 nampan penuh bunga. Lalu pemuda itu memberi isyarat kepada 6 orang yang berbaris bertelanjang dada dan hanya mengenakan sarung saja. Diantara ‘pasukan bersarung’ itu, tampak 2 orang pemuda berusia sama dengan si pemberi isyarat. Sisanya adalah anak-anak kecil, tidak terkecuali Kasan.

Pasukan bersarung itu bergerak ke tengah kerumunan, berbaris tepat di depan pemimpin upacara itu. Mereka terlihat tegang, sementara si pemimpin berjalan mengelilingi pasukan itu.

“Bul, cepat. Ini udah dingin sampe ke dalam-dalam lho.” pinta seorang pemuda yang merupakan anggota dari pasukan bersarung. Yang dipanggil tetap berjalan berkeliling.

“Mas Abul, ayo cepetan.” teriak Kasan, sepertinya dia juga sudah tak tahan dengan dinginnya malam itu.

Si pemimpin, yang dipanggil Abul, lalu berdiri tepat di depan barisan itu.

“Hai orang-orang berdosa, yang belum disunat. Hari ini saya akan membantu anda semua untuk sunat dengan bantuan Jin, seperti yang dirasakan oleh Rohim dan Abdullah. Saya akan menanyakan dulu pada kalian semua. Apakah kalian sudah melepas pakaian kalian semua?”

“Sudaahhh” jawab pasukan bersarung, kompak.

“Bagus. Sekarang saya akan menyiramkan air dari 7 selokan ini kepada kalian.”

Beberapa orang berpakaian hitam kemudian keluar dari barisan penonton, mengambil segayung penuh air selokan di dalam ember lalu menyiramkan kepada 6 orang pasukan bersarung. Lalu mereka kembali untuk mengambil segenggam bunga dan menaburkannya di atas kepala pasukan bersarung.

“Baik. Sekarang lepaskan ikatan sarung kalian. Kalian harus berjongkok dan mengangkat sarung kalian tinggi-tinggi hingga menutupi seluruh tubuh.” Perintah pemimpin Abul.

6 orang berpakaian hitam membantu pasukan bersarung melaksanakan perintah Abul. Mereka juga memegangi ujung sarung itu agar tidak jatuh. Tiba-tiba Abul melompat dan membentuk posisi kuda-kuda.

“Sebentar lagi, para Jin akan datang ke tengah-tengah kita. Saya minta bagi penonton yang memiliki penyakit lemah jantung agar meninggalkan tempat ini.” Penonton tetap di tempat, tidak ada yang bergerak pergi. Sementara angin malam semakin menambah dingin dan mencekamnya malam itu.

“Baik. Saya akan mempersilahkan para jin untuk hadir.” Abul mengangkat tangannya, lalu membentuk lambang bintang di atas kepalanya.

“Hai, para Jin, datanglahhh....”

Tepat dengan terikan ‘datanglah’ Abul, 6 orang berpakaian hitam yang memegang ujung sarung tiba-tiba menarik ujung sarung tersebut dengan keras hingga tertarik. Sontak saja para pasukan bersarung menjadi telanjang bulat di tengah kerumunan orang-orang kampung. Mereka segera berdiri, mengejar orang-orang berpakaian hitam yang membawa sarung mereka. Dan terlihatlah 6 ‘jin’ telanjang yang berlari berputar-putar sambil menutupi kemaluan mereka dengan tangan. Para penonton tertawa terbahak-bahak, sementara ke-6 orang telanjang mulai mencoba meraih sesuatu untuk menutupi kemaluan mereka. Sungguh, diantara 6 orang telanjang itu, tak ada satupun dari mereka yang terpikir akan dipermalukan seperti itu. Mereka berharap disunat oleh Jin, namun yang ada, merekalah yang menjadi jin. Telanjang lagi.

Suara riuh rendah itu semakin menjadi kala ke-enam ‘jin telanjang’ itu mengejar-ngejar penonton, mencoba menarik kain apapun yang bisa digunakan untuk mengurangi rasa malu mereka. Akhirnya keadaan benar-benar chaos, banyak yang berteriak, ada yang terinjak-injak, ada yang menabrak ember berisi air selokan, hingga kehilangan jilbab karena ditarik pemuda-pemuda telanjang untuk menutupi kemaluan mereka. Di tengah-tengah chaos itulah, Kyai Jalal tiba-tiba datang dan berteriak kencang. Mendengar teriakan keras sang sesepuh kampung, semua orang, tidak terkecuali para pemuda telanjang yang sedari tadi berlari kesetanan.

“Ada apa ini?” tanya Kyai Jalal penuh selidik. Orang-orang terdiam, beberapa dari mereka menarik Abul ke depan Kyai Jalal. Kyai Jalal menyilangkan tangannya di dada, menunggu penjelasan dari Abul.

“Ehh.. Begini pak Kyai.. Saya membantu teman-teman yang belum sunat.. Ehh.. Mereka minta disunat jin, jadi saya panggilkan jinnya...” Abul mencoba menjelaskan kejadian itu. Omongannya belepotan, mencari-cari alasan yang dapat membenarkan keisengannya itu.

Mata Kyai Jalal menatapnya tajam, Abul semakin menggigil. Sementara ke-enam korbannya mendekat mengerubunginya. Dari keenam itu, hanya Rusli, 16 tahun, yang belum berhasil menemukan penutup kemaluannya, sedangkan yang lain telah aman.

“Benar pak Kyai, saya diminta sama anak-anak yang belum sunat untuk memanggil jin. Tapi pak Kyai, saya tidak mengira kalau jin yang saya panggil ternyata jin jahat, akhirnya dia iseng mengerjain anak-anak ini.”

Mendengar jawaban ini, sontak orang-orang tertawa cekikikan. Dasar Abul, bisa saja menemukan pembenaran untuk kesalahannya. Sangat Madura sekali.

Kyai Jalal kemudian menyerahkan kaus dan sarung Rusli, yang entah bagaimana, ada di tangannya. Dia menatap ke arah keenam korban Abul, setelah berdehem sedikit, lalu dia memulai berbicara.

“Kalian ini ada-ada saja, ingin disunat kok ya minta disunat jin. Kalian pikir jin itu mantri sunat? Ya begini jadinya, minta disunat jin malah yang datang jin kurang ajar. Ini adalah pelajaran berharga untuk kalian semua, jangan pernah mau minta tolong sama jin. Minta itu ya sama Allah. Itu pun ada cara-caranya. Ingin doa terkabul, ya harus berjuang dan tawakkal. Ingin disunat, ya ke mantri sunat, sambil berdoa semoga tidak terasa sakit. Nabi Ibrahim saja saat akan dibakar Namrud sempat berdoa meminta pertolongan Allah, jadi apinya bisa dingin. Kalian kalau ingin sunatnya tidak sakit, ya berdoa.”

“Tapi Kyai, Abdullah dan Rokim kok bisa disunat sama jin? Kan artinya jin bisa nyunat.” Sanggah Kasan.

“Abdullah dan Rokim itu disunat karena memang kuasa Allah. Allah selalu menunjukkan kebesaranNya, salah satunya ya melalui peristiwa Abdullah dan Rokim. Allah menunjukkah kuasanya melalui banyak cara dan perantara, bisa dengan menghilangkan panas api seperti di kisah Nabi Ibrahim, bisa dengan menghilangkan rasa sakit saat syuhada-syuhada tertembus panah di Perang Uhud, atau juga melalui malaikat-malaikatnya yang turun ke bumi.” Jawab Kyai Jalal.

“Berarti yang datang ke Abdullah dan Rokim itu malaikat ya Kyai, bukan jin?” tanya Abul.

“Wallahu a’lam. Yang pasti, besok kalian harus sunat. Besok saya atur semua biaya sunat dan selametan kalian, yang penting kalian besok jam 9 pagi harus sudah kumpul di Puskesmas di pertigaan pasar.” Pungkas Kyai.

“Sekarang kalian pulang, penonton juga pulang, saya ingin memberi hukuman kepada jin yang kurang ajar ini”. Lanjutnya, sambil menarik tangan Abul.

Tidak ada yang tahu hukuman apa yang diberikan kepada Abul, yang pasti semua akhirnya sadar bahwa jin bukanlah mantri sunat.

Minggu, 25 September 2011

SAJAK PERTEMUAN MAHASISWA - FIB UB 2011

Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.

Lalu kini ia dua penggalah tingginya.
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini
memeriksa keadaan.

Kita bertanya :
Kenapa kebijakan tidak selalu berguna.
Kenapa kebijakan dan kebijakan bisa berlaga.

Anda berkata “ Kami ada kebijakan “
Dan kami bertanya : “ Kebijakan untuk siapa ?”

Ya ! Ada yang jaya, ada yang terlunta.
Ada yang bertahta, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.

Dan kami di sini bertanya :
“Kebijakan saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”

Kenapa kebijakan dilakukan
tetapi biaya kuliah semakin mencekik leher.
Sarana aktivitas mahasiswa berubah menjadi ruang – ruang pengap.
Pertambahan program studi
hanya untuk mempertebal pemasukan segelintir penguasa.
Kerjasama-kerjasama yang dilakukan
tidak tepat untuk mahasiswa yang membutuhkan sarana belajar.

Tentu kami bertanya :
“Lantas kebijakan saudara untuk siapa ?”

Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kami juga bertanya :
Kami ini dididik untuk memihak yang mana ?

Anda-anda yang menjabat di sini
akan menjadi suri tauladan,
ataukah contoh-contoh haram ?

Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Malam akan tiba.
Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kami tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.

Dan esok hari
matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kami menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra.

Di bawah matahari ini kami bertanya :
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kami
berdiri di pihak yang mana !

Karya WS Rendra, Jakarta 1 Desember 1977. Digubah untuk mendukung perjuangan kawan-kawan aktivis Fakultas Ilmu Budaya membongkar topeng-topeng kapitalis penguasa.

Kamis, 09 Juni 2011

Zhuge Liang, Sang Avatar

Pada awal abad ke-3 Masehi, Daratan Cina dikuasai oleh Dinasti Han yang selalu dirongrong oleh keluarga Sun di Selatan. Pada saat itu, Kekaisaran China sedang kacau karena adanya wabah yang mematikan. Tersebutlah seseorang yang berambisi untuk menjadi terhormat, bernama Liu Bei, yang juga sepupu sang Kaisar. Dalam pemberontakannya, Liu Bei berkoalisi dengan keluarga Sun untuk menjatuhkan Kekaisaran Han. Untuk menumpas musuh-musuhnya, Kaisar Han mengutus pasukannya yang dipimpin Perdana Menteri Cao Cao. Cao Cao bergerak menuju ke Selatan, basis pergerakan keluarga Sun dan Liu Bei.

Liu Bei memiliki seorang ahli strategi yang sangat cerdik, bernama Zhuge Liang. Zhuge Liang, dengan kemampuannya membaca gerak angin dan akalnya yang brilian, sangat menjadi andalan Liu Bei dan Keluarga Sun. Kondisi alam Selatan, yang sangat mengandalkan Sungai Yang-Tze, pasukan Cao Cao terlebih dahulu mengambil ancang-ancang serangan melalui angkatan lautnya, dengan pasukan yang jumlahnya jauh melebihi jumlah pasukan Selatan. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan ini, mau tidak mau pasukan Selatan harus meladeni pasukan angkatan laut Kaisar. Namun permasalahan segera muncul, yaitu pasukan Selatan tidak memiliki persenjataan yang memadai.

Zhuge Liang kemudian berpikir sejenak sebelum menyanggupi permintaan Zhou Yu, laksamana pasukan Selatan, untuk menyediakan persenjataan. Tak tanggung-tanggung, Zhuge Liang menjanjikan 100.000 anak panah dalam waktu 3 hari. Janji ini langsung disambut gembira oleh pasukan Selatan. Dengan 100.000 anak panah, mereka pasti bisa mengimbangi kekuatan pasukan Cao Cao.

Pada hari pertama setelah janjinya, Zhuge Liang masih saja bersantai-santai. Tidak ada perintah penebangan pohon atau pembuatan anak panah untuk memenuhi janjinya. Namun para pasukan masih percaya pada kredibilitas Zhige Liang. Pada hari kedua, juga tidak banyak yang dilakukan Zhuge Liang. Pasukan Selatan mulai khawatir, apalagi jumlah armada pasukan Kaisar semakin banyak dan mengepung mereka di sepanjang sungai. Mereka mulai mempertanyakan janji Zhuge Liang.

Tepat pada pagi hari ketiga, Zhuge Liang memberi perintah pada pasukan Selatan. Namun perintah itu sangat tidak berhubungan dengan pembuatan anak panah. Perintah itu adalah untuk mengikatkan gelondongan jerami ke sisi-sisi kapal milik armada Selatan. Dengan sedikit heran, para pasukan menuruti perintah tersebut. Belum ada sedikit petunjuk pun di benak para prajurit tentang tujuan perintah itu.

Hingga keajaiban muncul pada sore hari. Kabut tebal turun di lembah Sungai Yang Tze, mengaburkan jarak pandang di daerah itu. Zhuge Liang kemudian memberi perintah keduanya, yaitu memberangkatkan kapal-kapal yang telah diselimuti jerami itu ke arah pasukan Cao Cao. Lebih mengejutkan lagi, Zhuge Liang tidak membawa banyak pasukan, kecuali para penabuh genderang. Maka berangkatlah iring-iringan kapal itu di tengah kabut tebal menuju pertahanan pasukan Cao Cao. Pada saat mereka melintasi pertahanan pasukan Kaisar, Zhuge Liang memerintahkan para pasukannya untuk menabuh genderang dengan kuat. Kontan saja pasukan Cao Cao, yang mengira ada serangan dari pasukan Selatan, melepaskan anak panah mereka ke arah suara yang terhalang oleh kabut. Setelah beberapa lama, Zhuge Liang kemudian memerintahkan pasukannya untuk kembali ke pertahanan, dengan membawa ratusan ribu panah yang menancap di gelondongan jerami yang dipasangnya di kapal. Zhuge Liang menepati janji 100.000 anak panahnya, bahkan lebih dari itu, anak panah itu adalah milik pasukan musuh.

Tidak hanya itu, kecerdikan Zhuge Liang juga digunakan untuk mengalahkan pasukan musuh tanpa berperang. Beberapa lama setelah ‘merampok’ panah musuh, Zhuge Liang mengirim agen rahasia untuk memberi masukan pada Cao Cao agar menggunakan taktik mengepung pertahanan Selatan dengan cara mengikatkan kapar-kapal pasukannya. Pada saat itu, angin bergerak dari arah belakang pasukan Cao Cao, sehingga kapal-kapal pasukannya akan dengan mudah menuju ke arah pertahanan pasukan Selatan. Terjangan panah dari pasukan Selatan juga akan dihadang oleh angin yang bertiup kencang. Usul itu diterima. Cao Cao segera memerintahkan pasukannya untuk berangkat mendekati petahanan pasukan Selatan, kemudian mengikatkan kapal-kapal, serta bersiap untuk menjadikan pertempuran di laut serasa di daratan. Kemenangan serasa sudah di genggaman, apalagi pasukan Kaisar adalah jagoan untuk perang di daratan.

Namun, Zhuge Liang, yang tentu sudah mempersiapkan segalanya hanya tersenyum melihat taktik jebakannya yang berhasil itu. Tentu saja semua sudah diperkirakan oleh Zhuge Liang, karena tiga hari kemudian angin berbalik arah. Pada malam hari yang dingin, Zhuge Liang kemudian membakar beberapa kapal perang pasukan Selatan. Kapal yang terbakar itu kemudian didorong oleh kencangnya angin menuju ke arah kapal-kapal pasukan Cao Cao. Dan kebakaran besar tak dapat dihindari. Taktik pembumihangusan itu berjalan sempurna. Pasukan Selatan yang terkepung, berhasil menang tanpa pertarungan.

Itu adalah kisah yang sangat dikenal dan dikenang oleh angkatan laut Cina, bahkan seharusnya juga dikenang oleh seluruh negara. Taktik perang Zhuge Liang adalah taktik yang menggunakan kekuatan terdahsyat di alam ini, yaitu kekuatan alam. Angin dan kabut adalah contoh kekuatan alam, yang digunakan dengan baik oleh Zhuge Liang. Kemampuannya membaca arah angin, meramalkan perubahan cuaca, serta kecerdikannya menggunakan kekuatan alam adalah legenda di sejarah perang Cina. Mungkin dialah sang Pengendali Angin yang sebenarnya.