Minggu, 22 Mei 2011

Sebuah Surat Pernyataan Untuk FIB

Tanggal 21 Mei 2011, sehari setelah Hari Kebangkitan Nasional, saya menerima sebuah kiriman surat elektronik yang mengatasnamakan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya. Surat itu berjudul “Surat Pernyataan”. Dan isinya sangat menggelitik dan –sejujurnya- menyenangkan hati saya. Surat itu seakan-akan sebuah jawaban dari kegundahan hati saya beberapa saat ini tentang fakultas tercinta. Sebuah jawaban atas kebijakan dekanat yang cukup menggemparkan : FIB dan 5 Prodi barunya.

Surat itu berisi beberapa butir yang mungkin memang menjadi kegelisahan mahasiswa FIB selama ini. Isi surat itu adalah :


Kami yang bertanda tangan di bawah ini atas nama perwakilan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya menyatakan bahwa :

1. Kami menolak dibukanya 5 prodi baru di Fakultas Ilmu Budaya dengan alasan :

· Fasilitas fisik dan non fisik yang ada kurang memadai

· Mahasiswa tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan pembukaan prodi baru

· Prodi pendidikan yang dibuka dirasa kurang tepat dimasukkan dalam Fakultas Ilmu Budaya

· Terhentinya pembangunan gedung baru Fakultas Ilmu Budaya

· Kualitas dan kuantitas dosen belum tercukupi

2. Kami menuntut adanya transparansi dari pihak dekanat mengenai kejelasan prosedur pengajuan proposal

3. Kami menuntut keterlibatan pihak kemahasiswaan dalam pengembangan potensi mahasiswa FIB

Demikian pernyataan ini kami buat atas dasar persetujuan bersama dan diharapkan ada tindak lanjut dari aspirasi yang disampaikan demi kebaikan dan kemajuan Fakultas Ilmu Budaya .­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­-­­


Sebuah pernyataan dari mahasiswa untuk mengkoreksi dekanat !. Ya, inilah yang sesungguhnya dibutuhkan oleh FIB yang mulai berjalan pincang karena tidak berjalannya proses ideal yang sempat saya sitir dalam tulisan saya sebelumnya : Proses Kebijakan – Proses Koreksi.

Tentu tidak perlu saya sampaikan lagi bahwa rencana pembukaan 5 Program Studi baru di FIB menuai pro dan kontra. Tidak perlu ditutupi lagi bahwa mahasiswa telah menyadari bahwa dekanat selalu menempatkan mahasiswa sebagai obyek dari kebijakan, bukan sebagai bagian dari kebijakan. Dan sudah bukan rahasia, bila mahasiswa mulai gerah dengan oknum-oknum dekanat yang terkesan menekan kreativitas dan potensi mahasiswa.

Dan mungkin, surat pernyataan ini adalah suara hati mahasiswa peduli, mahasiswa yang telah bosan dengan kepincangan fakultas tercinta. Dari surat pernyataan ini, saya melihat sebuah siluet gerakan pemuda-pemuda FIB yang merongrong kebijakan – kebijakan yang diatur bapak dan ibu yang duduk di dekanat. Sebuah alur drama kehidupan yang digambarkan Soe Hok Gie sebagai golongan muda vs. golongan tua.

Namun selembar surat pernyataan, tentu tidak akan ada gunanya tanpa sebuah tindakan nyata. Soekarno berkata, “Salah satu ciri seorang yang benar-benar revolusioner ialah satunya kata dengan perbuatan, dan satunya mulut dengan tindakan”. Surat pernyataan bukan hanya bergerak di tataran retorika saja, lalu selesai. Sebuah tindakan nyata harus dilakukan !. Dan saya sangat mengharap para aktivis mahasiswa di FIB, yang telah satu suara untuk mengkoreksi kebijakan dekanat, mewujudkan pemikirannya dengan aksi-aksi yang tentunya sejalan dengan ide mereka. Karena FIB sangat merindukan itu. FIB sangat membutuhkan itu.

Satu kata : Bergeraklah, aktivis FIB !!

Sabtu, 21 Mei 2011

Lelucon Keterlaluan

Tahun 1910 Angkatan Laut Britania Raya merupakan angkatan laut yang paling disegani di tujuh samudera. Mereka menguasai hampir seluruh lautan dan tak ada bandingannya.. Pada suatu hari, HMS Dreadnought yang mega, yang merupakan kapal bendera dari "The Home and Atlantic Fleets" yang sedang berlabuh di Weymouth, Dorset, menerima telegram. Nama pengirim telegram tersebut tercantum nama Sir Charles Hardinge, Wakil Menteri Luar Negeri Inggris. Telegram itu memberitahukan agar kapal dreadnought bersiap-siap untuk menerima kunjungan pangeran-pangeran Abyssinia atau Ethiopia. Angkatan Laut harus menjamu tamu-tamu ini. Memberikan penghargaan pada tamu mereka serta pelayanan yang semaksimal mungkin.
Karena tidak pernah mencurigai keaslian telegram itu, pemimpin kapal memerintahkan agar persiapan dilakukan secepatnya. Sementara itu di stasiun Paddington, London, seorang laki-laki anggung dengan topi tinggi dan berpakaian mewah memberi perintah kepada kepala stasiun. Ia mengaku dirinya adalah Herbert Cholmondesly daari Kementerian Luar Negeri. Dia ingin satu kereta api khusus disiapkan untuk mengangkut pangeran-pangeran menuju Weymouth saat itu juga. Kepala stasiun itu bergegas menyiapkan satu kereta VIP tanpa curiga bahwa ia sedang ditipu.

Virginia Woolf
Padahal sesungguhnya pria dari Kementerian Luar Negeri ini adalah Horace de Vere Cole, seorang pemuda kaya sekaligus pelawak yang keterlaluan. Dialah yang mengirim telegram, dan keempat pangeran yang meminta disiapkan kereta VIP tersebut adalah teman-teman nya. Mereka tidak lain adalah Virginia Wolf novelis dan kritikus wanita terkenal Inggris saat itu, Guy Ridley Seorang anak Hakim Agung di London juga seorang Atlet kawakan Anthony Buxton serta seorang seniman Duncan Grant. Keempat orang ini di make over oleh seorang ahli rias teater terkenal Willy Clarkson memakai janggut dan pakaian-pakain khas Bangsawan Arab Afrika. Dalam perjalanan mereka, mereka didampingi seorang penerjemah yang tidak lain adalah saudara laki-laki Virginia Wolf, Adrian dan Cole sendiri.

Rombongan tiba di Weymouth disambut dengan karpet merah dan barisan pengawal kehormatan. Mereka diiringi menuju kapal dengan bendera untuk kunjungan kerajaan. Karena tidak ada bendera Abbysinia di kapal itu para wak kapal salah memasang bendera Abbysinia dengan bendera Zanzibar dan menyanyikan lagu kebangsaan Zanzibar. Para pejabat kapal yang mengetahui hal tersebut cemas atas kesalahan tersebut, tapi sesungguhnya mereka tidak perlu cemas atau pun risau sebab bahkan keempat pangeran palsu itu pun tidak mengetahuinya.

Mereka disambut dengan keramahtamahan yang sangat. sebagai balasan, mereka mencoba menganugerahkan tanda kehormatan militer Abbysinia kepada beberapa perwira tinggi.

Untuk meyakinkan para petinggi Armada mereka bahkan meminta agar disediakan sejadah untuk sholat dan menolak memakan dan minum semua persediaan makanan yang ada, padahal sesungguhnya mereka takut penyamaran mereka diketahui ketika makan atau minum kemudian kumis atau janggut palsu mereka copot. Dua kali penipuan ini hampir terbongkar, ketika Anthony Buxton bersin hingga sepotong kumisnya terlepas, untung saja ia segera memasangnya kembali sebelum di lihat oleh awak kapal. Kedua, ketika rombongan diperkenalkan dengan seorang perwira yang ternyata kerabat dekat Virginia Wolf, untug kali ini riasan Willy Clarkson benar menipu hingga Virginia tidak dikenali sama sekali.
Rombongan kerajaan palsu ini mengakhiri kunjungan mereka, setelah berfose untuk dipotret. Mereka kembali ke London mengumumkan lelucon mereka. Biaya lelucon ini tidaklah sedikit paling tidak memakan 4000 pound sterling milik Cole yang waktu itu sangatlah banyak. Tetapi bagi Cole, ia bahkan rela membayar berapa pun untuk melakukan lelucon semacam ini. Pernah suatu hari dia menggali lubang besar ditengah jalan dan keesokan harinya ia mengamati lubang tersebut dengan mimik keheranan seakan-akan lubang itu tidak dibuat oleh manusia, hingga kemudian masyarkat mengetahui bahwa itu hanyalah sebagian dari leluconnya dan menutup kembali lubang tersebut.

Di lain kesempatan, Cole berjalan-jalan sepanjang Westminister bersama seorang temannya yang juga anggota parlemen. Dia berlomba dan bertaruh dapat melewati temannya itu walaupun dia mengambil jarak 9 meter di depannya, namun secara diam-diam dia menyelipkan arloji emasnya ke dalam saku temannya. Dan ketika anggota parlemen tersebut mulai berlari Cole malah berteriak maling! sambil memanggil seorang polisi yang kebetulan berada di arel tersebut. Apes bagi kawannya yang kemudian digiring ke kantor polisi dan ia bersusah payah meyakinkan polisi bahwa ini hanya sebuah lelucon yang sangat keterlaluan.

Menyamar Sebagai PM Inggris

Tetapi lelucon-lelucon yang paling disukai Cole adalah saat masih menjadi mahasiswa di Cambridge University, ia menyamar sebagai Sultan Zanzibar dan mengadakan kunjungan resmi ke Universitasnya sendiri. Dia bahkan dibawa keliling kampusnya sendiri. Penyamaran lainnya adalah ketika ia datang ke rapat serikat buruh yang terkemuka di Inggris saat itu. Ia berjalan naik ke atas podium dan berpidato yang seharusnya dilakukan oleh Perdana Menteri Pertama Inggris yang berasal dari Partai Buruh, Ramsay MacDonald. Saat itu Cole menghabiskan waktunya berjam-jam menghias dirinya hingga sangat mirip dengan sang PM. McDonald yang asli saat itu terlambat karena tersasar oleh supir taxi yang akan membawanya ke tempat rapat yang ternyata adalah bawaan Cole yang sengaja membuat Sang PM berputar-putar London. Sementara Cole di atas podium menyerukan para pemimpin Serikat buruh itu agar bekerja lebih keras lagi dengan bayaran murah. Pidato ini tentu saja tidak disambut baik (dasar orang-orang kurang kerjaan)

repost dari http://www.colliq.co.cc/2011/04/lelucon-pangeran-pangeran-ethiopia-dan.html

Untuk Aktivis di FIB

“ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :
“maksud baik saudara untuk siapa ?
saudara berdiri di pihak yang mana ?”
(Sajak Pertemuan Mahasiswa – W.S. Rendra)

Maksud baik, atau saat ini lebih dikenal dengan ‘kebijakan’, sejatinya adalah sebuah keputusan yang bisa diambil oleh seluruh makhluk hidup. Setiap orang bisa memutuskan kebijakannya, sejauh dia bisa membuktikan kebebasannya. Hanya saja, yang membedakannya adalah ruang lingkup dari kebijakan itu sendiri. Luaskah, atau bersifat individu saja. Luas ruang lingkup kebijakan itu menandakan tingginya kedudukan induvidu yang mengambil kebijakan itu.

Sementara kebijakan mengenal dua jenis pengambilan keputusan : Otoriter dan Demokratis. Tentu tidak ada kesalahan dengan dua jenis decision making itu, hanya tepat atau tidakkah. Dan karena kebijakan adalah sebuah keputusan perorangan atau sekelompok orang, akan sangat sulit untuk memuaskan seluruh masyarakat yang tercakup di dalamnya. Pasti akan ada pro dan kontra. Ketika sebuah kebijakan ternyata tidak tepat, atau malah menyengsarakan rakyat, maka sebuah tindakan sebagai respon akan lahir dari gerakan ketidak puasan itu. Dan disitulah kebijakan menemukan jodohnya : KOREKSI. Atau yang disebut Putu Wijaya dalam cerpennya : PERADILAN RAKYAT.

Republik Indonesia telah mencatat berbagai ketidak puasan rakyat, yang akhirnya mengantarkan sebuah peradilan rakyat muncul dan melakukan koreksi. Peristiwa 1966, Peristiwa Malari, Peristiwa 1998 adalah salah satu bentuk Peradilan Rakyat yang diwakili oleh mahasiswa sebagai agent of change dan social control. Apakah sebuah peradilan rakyat selalu benar ?. Saya kira tidak. Kebenaran di tengah masyarakat luas adalah sebuah ke-absurd-an. Hanya yang menang yang menentukan kebenaran. Setidaknya itu yang tersirat di Kitab Mahabharata dan Ramayana.

Universitas dan fakultas merupakan salah satu contoh negara di ranah pendidikan. Rektor dan Dekan adalah presidennya. Dan uniknya, mahasiswa juga merupakan negara, tepatnya negara di atas negara. Presiden Mahasiswa adalah pemimpinnya. Dan semua proses kebijakan dan koreksi sudah seharusnya berjalan dengan baik, apabila kedua negara tersebut dapat memainkan perannya masing-masing.

Alur kebijakan dan koreksi itu juga yang seharusnya terjadi di Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Tidak peduli siapakah pengambil kebijakannya, mahasiswa adalah warga dari sebuah negara di atas negara. Dan tugas mahasiswa FIB adalah pengambil kebijakan serta pengkoreksi kebijakan. Mahasiswa FIB sudah seharusnya bertindak di atas kakinya sendiri. Sebab mahasiswa adalah bagian dari sistem pengambilan kebijakan, bukan obyek dari sistem. Dan untuk itulah, mahasiswa harus mampu mendiskusikan pemikirannya, serta ambil bagian dalam lancarnya siklus kebijakan dan koreksi, demi tercapainya FIB yang berjalan sesuai harapan masyarakatnya.

Ayo Mahasiswa FIB, bergeraklah !!!.

Fakultas Ilmu Budaya dan 5 Prodi Barunya

Berita pembukaan lima prodi baru di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) sudah terdengar hingga ke seantero negeri. Pembukaan kelima Prodi itu, tentu saja, memancing pro dan kontra di tengah masyarakat FIB. Baik itu mahasiswa, dosen, maupun karyawan. Namun rencana itu terus saja menggelinding hingga akhirnya sampai pada tahap sosialisasi kepada calon mahasiswa baru. Pihak kontra terus saja memanas-manasi keadaan, dengan berbagai argumen untuk mencegah hal itu terjadi. Mulai dari prosedur kebijakan yang salah, hingga masalah ke-etis-an. Namun yang paling saya sesalkan adalah, tidak adanya keterlibatan mahasiswa di dalamnya, setidaknya untuk mengetahui akan kemanakah haluan fakultas tercinta ini. Dan memang sudah seharusnya, mahasiswa FIB mengambil tindakan dengan segera, untuk mendiskusikan dan menyuarakan pendapat. Pro maupun kontra. Koreksi maupun dukungan.

Kelima Prodi

Saya sebenarnya adalah salah satu orang yang setuju dengan kebijakan perluasan FIB dengan penambahan prodi baru. Setidaknya itu akan membantu FIB untuk menjadi besar dan lebih besar. Sungguh mengejutkan dan di luar perkiraan saya, FIB langsung membuka 5 program studi baru : Antropologi Budaya, Seni Rupa, Pend. Bahasa Inggris, Pend. Bahasa Jepang, dan Pend. Bahasa Indonesia. Hal pertama yang muncul di pikiran saya adalah Gedung FIB dan Gedung Kuliah Bersama yang akan semakin sempit. Bila kita mengacu pada jumlah mahasiswa Sastra Cina pada awal pembukaannya, tambahan lima prodi akan menghasilkan mahasiswa setidaknya 50 orang. Bila dijumlah dengan peningkatan mahasiswa baru di prodi-prodi lain yang sudah dikenal masyarakat, bisa jadi 1000 mahasiswa akan hadir ke FIB pada tahun ajaran berikutnya.

Itu hanya hitung-hitungan kotor saja, namun tentu kita sudah harus memikirkannya. Jumlah itu akan menjadikan FIB berisi sekitar 2.500 mahasiswa, dengan tempat belajar yang hanya gedung FIB dan GKB. Sementara gedung baru FIB, yang sudah lama dirindukan mahasiswa, tak kunjung selesai. Lalu mahasiswa FIB akan kuliah dimana ?.

Hal ini mengingatkan saya pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univ. Brawijaya pada tahun 2009 lalu, tepatnya sekitar 2 bulan sebelum PK2MABA. Saya, yang saat itu masih di Departemen Humas BEM Bastra, ngobrol dengan Presiden BEM FISIP 2009 yang sedang ruwet saat itu. Masalahnya sama : Gedung belum selesai, dan mahasiswa akan datang dengan jumlah yang sangat besar. Namun saat itu, sudah ada jaminan bahwa saat mahasiswa baru datang, 3 lantai gedung baru FISIP sudah bisa ditempati. Dan benar adanya, 3 gedung itu selesai tepat waktu. Bahkan FISIP juga mendapat tambahan dana untuk meneruskan pembangunan dari mahasiswa baru yang membludak jumlahnya.

Mungkin saja FIB akan seperti itu juga, namun siapa bisa menjamin ?. Saat ini saja, pembangunan gedung baru FIB mangkrak, tidak jelas kapan akan dilanjutkan. Lalu siapa yang bisa menjamin mahasiswa baru akan mendapat tempat untuk belajar ?. Tanpa mahasiswa baru saja, dengan jumlah mahasiswa sekitar 1600 mahasiswa, tahun ini FIB harus melaksanakan perkuliahan hingga jam-jam rawan : 21.00 !!.

Masalah gedung bukan hanya satu-satunya kekhawatiran yang muncul dari pembukaan lima prodi baru itu. Kekurangan staf pengajar, adalah kekhawatiran yang membayang. Pembukaan prodi baru juga berarti pengkonsentrasian para pengajar. Yang sarjana pendidikan akan mengisi prodi pendidikan, sedangkan yang sarjana sastra murni akan tetap di prodi sastra murni. Lantas siapa yang akan mengisi kekosongan itu ?. Tentu satu-satunya jalan adalah perburuan dosen-dosen baru. Dan mencari dosen berkualitas tentu tidak semudah yang dibayangkan. Bisa jadi dari 10 dosen baru, hanya 5 orang yang berkualitas. Sisanya, bisa jadi pas-pasan, atau buruk.

Masalah Prodi Kependidikan

Saat mendengar adanya Prodi Kependidikan yang juga akan dibuka, sebuah tanda tanya besar muncul di otak saya. Bukankah fakultas kependidikan harusnya di Univ. Negeri Malang (UM) sana ?. Mungkin saya adalah orang yang terjebak dalam asumsi bahwa fakultas kependidikan dan keguruan adalah ranah bagi fakultas yang dulunya bernama IKIP, baik itu Universitas Negeri Malang maupun Universitas Negeri Surabaya. Entahlah asumsi itu benar atau tidak, namun berita pembukaan 3 prodi pendidikan di FIB UB menjadi pertanyaan besar tentang asumsi yang saya anut itu.

Saya tidak pernah, atau mungkin, belum membaca sebuah peraturan yang berhubungan dengan asumsi saya tadi. Dan sejauh saya belum membacanya, saya berusaha untuk tidak berkomentar lebih jauh. Mungkin saja pihak FIB dan UB melihat adanya kesempatan untuk mendatangkan mahasiswa sebanyak mungkin dari banyaknya minat masyarakat luar untuk menjadi seorang pengajar. Dan itu sah-sah saja, selama tidak ada peraturan yang dilanggar.

Namun, kenapa prodi pendidikan harus dibuka di fakultas yang sudah menasbihkan nama sebagai Fakultas Ilmu Budaya ?. Bukankah prodi pendidikan sepertinya tidak memiliki korelasi dengan Ilmu Budaya ?. Antropologi dan Seni Rupa tentu jelas korelasinya, tapi Prodi Pendidikan ?!. Apakah itu ketiga prodi pendidikan itu hanya titipan sementara waktu, sebelum nanti akan dibuka Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Brawijaya. Ataukah malah FIB sendiri yang akan berganti nama menjadi Fakultas Bahasa dan Seni seperti di Univ, Negeri Malang, atau malah Fakultas Humaniora Budaya.

Tentu saja, tidak semua masalah akan saya sampaikan disini. Seperti yang selalu dikatakan oleh para agen intelijen atau para ahli analisis : Sebuah masalah bisa jadi menyembunyikan masalah-masalah yang lain. Pada kasus pembukaan 5 prodi baru ini, ada banyak masalah yang lain, yang saya kira tidak layak untuk diketahui oleh masyarakat umum. Namun melalui kegiatan wajib para aktivis mahasiswa, yaitu kegiatan diskusi, bisa jadi masalah-masalah itu akan terungkap. Dan harapan saya, diskusi aktivis mahasiswa FIB akan menghasilkan sebuah tindakan nyata, daripada hanya kata-kata tanpa arti. Semoga gerakan mahasiswa FIB dapat menentukan arah terbaik bagi fakultas tercinta.

Selasa, 03 Mei 2011

LAMPU MOTOR

Lelaki itu berjalan ke ruanganku, langkahnya tegap dan pasti. Sementara wajahnya menampakkan sebuah keyakinan, entah apa itu. Senyumnya segera muncul saat dia menapakkan kakinya ke ruanganku.

“Selamat pagi, bos..” sapanya, sembari memajang deretan giginya yang rapi dan putih. Dia berjalan mendekat, lalu merebahkan pundaknya di kursi sofa mewah yang baru berusia 2 bulan. Seusia dengan jabatan baruku ini.

Aku tetap dalam posisiku, duduk santai.

“Selamat pagi, kawan lama. Sungguh lucu rasanya ku mendengar kau memanggilku ‘Bos’, sedangkan kau adalah direktur perusahaan besar”, jawabku. Kujulurkan tanganku untuk menyalaminya.

“Bagaimanapun juga, kau adalah bosku. Kau ‘kan ketua para polisi seluruh negeri ini, bukan begitu pak Kapolri ?. Bandingkan dengan aku yang hanya pemimpin perusahaan onderdil sepeda motor..”, pujinya. Kawanku ini memang selalu pandai bermain kata-kata, dan aku benar-benar terbang dibuatnya.

“Hahaha, bisa aja kau ini. Bagaimana kabar kampung halaman ?. Tak pernahkah kau pulang kampung ?” tanyaku.

“Masih sama saja, hanya sedikit diwarnai perkembangan-perkembangan zaman saja. Tampaknya, kota kita itu belum bisa mengikuti perkembangan anak-anaknya yang merantau dan sukses. Ya, seperti kau dan aku ini, hahaha”.

Dia menghidupkan rokok cerutunya, sebelum kembali melanjutkan kata-katanya,

“Seminggu yang lalu aku pulang. Aku bertemu Lusiana, mantan kekasihmu dulu. Ternyata dia melanjutkan kuliah di universitas. Sungguh tak kukira ternyata dia berada di kota yang sama dengan kita.”

“Jadi dia sekolah lagi ?. Ahh, tapi wajar. Sekarang usianya masih 26 tahun.”

“Sungguh kesalahan kau meninggalkannya. Untuk seorang seusiamu, berusia 53 tahun, Lusiana adalah berkah.”

“Ya tentu saja berkah, andai istriku tak mencium perselingkuhanku itu setahun yang lalu.”

“Hahaha, ya sudahlah, setiap permainan selalu ada Game Over-nya, dan kau berakhir mengecewakan. Tapi terlepas dari itu, aku ingin menawarimu sebuah proyek bisnis.”

Aku mengernyitkan dahi. Terus terang, sedikit waspada, karena kawanku ini juga sering menjadi musuh dalam selimut, atau serigala lapar. Otak kotornya sangat kreatif.

“Begini, coba kau mendekat sebentar kemari.”

Aku menggeser dudukku mendekat padanya.

“Kau tahu, kawan, pekerjaanku ini bergantung pada berapa motor yang rusak di Indonesia ini. Semakin langka motor rusak, semakin minim penghasilanku. Tapi kalau banyak pengemudi membutuhkan onderdil motor, wahh, kau bisa kena wangi uangnya kawan.”

“Jadi, kau ingin aku merusak motor-motor yang ada di Indonesia ini ?. bagaimana caranya ?.”, tanyaku. Aku masih heran dengan bisnis ini. Sementara bau-bau kekejaman semakin kental di hidungku.

“Ahh, kau terlalu baik sebagai polisi. Kau jujur. Otakmu tak bisa mencium kesempatan-kesempatan emas.” Jawabnya, sambil mengusap-usap kepalaku.

“Segera saja kau beritahu aku, apa bisnis yang kau tawarkan.”

“Oke, pak bos. Aku tahu, kau tak akan bisa merusak motor-motor itu, tapi kau bisa membantuku memperpendek masa rusak onderdil itu.”

Dia menyedot cerutunya lagi,

“Di pabrikku, onderdil paling susah laku adalah lampu motor. Kau tahulah, jam operasi lampu motor itu kan 10.000 jam. Bayangkan jika semua orang hanya menghidupkan lampu motor pada malam hari saja, paling cepat orang beli lampu kalau sudah setahun. Itu yang bikin lampu-lampu di pabrik tak cepat laku.”

Aku terus mendengarkannya penuh selidik,

“Dan yang aku ingin kau lakukan, kawan, adalah membuat peraturan sepeda motor harus menghidupkan lampu motor di siang hari. La...”

“Hah, ngawur kau. Apa yang harus ku katakan pada rakyat ini ?. Bukankah siang hari itu terang, tanpa lampupun orang akan melihat kalau itu motor.”, potongku. Aku heran dengan pemikirannya.

“Ahh, itulah kenapa aku kemari. Kau ‘kan kepala polisinya, kau yang memastikan itu. Kau sampaikan saja pada rakyatmu, kalau menyalakan lampu pada siang hari akan mempermudah pengendara lain melihat posisi motor sehingga mengurangi angka kecelakaan, walaupun kita sendiri tahu kalau itu hanya memberi efek 1 persen saja. Kau katakan saja bahwa negara-negara di luar negeri juga sama seperti itu, kan rakyatmu selalu tergoda dengan metode-metode berbau luar negeri.”

Dia menghisap cerutunya dalam-dalam, lalu menghembuskannya,

“Aku yakin akan banyak penentang kebijakan itu, mereka akan berkata kalau hanya orang buta yang tidak bisa melihat sepeda motor di siang hari. Tapi kau juga punya kekuatan untuk menghentikan para penentang itu. Kau buat peraturan tentang lampu itu, lalu kau kampanyekan safety riding itu, dan kalau banyak yang melanggar kau tilang saja. Beres perkara.”

“Kalau rakyat demo menentangnya, bagaimana ?”

“Kau alihkan saja perhatian mereka. Kau pilih polwan-polwan cantik untuk kampanye ke masyarakat. Kau suruh polisi-polisi menari India, buat rakyat lupa dengan peraturan itu. Gampang bukan ?. Ahh, kau menjadi pejabat negara, tapi tak bisa meniru politik Presidenmu. Ahahaha.”

Dia tertawa lebar, sementara aku masih berpikir.

“Apa yang akan kudapat dari bisnis kita ini ?”

“20% dari keuntungan penjualan lampu motor, berlaku selama peraturan lampu motor itu tetap berlaku. Ditambah...”

Dia tersenyum menyeringai. Aku mulai sadar, aku telah larut dalam permainannya. Namun tak apalah, lanjut saja.

“Ditambah apa ?”

“Hemm...”, dia menyundutkan cerutunya ke asbak. Lalu kembali duduk dengan santai,

“Kau pasti kangen dengan Lusiana. Aku bisa mengatur pertemuanmu dengannya, lengkap dengan satu kamar President Suit hotel bintang lima, selama dua hari dua malam. Bagaimana, kawan baikku ?”

Aku terus berpikir. Wajah Lusiana juga muncul dalam pikiranku. Kubayangkan kegoncangan rakyat saat menyambut peraturan baru itu. Aku pejamkan mataku. Sedetik, dua detik, tiga detik, ahh.., bukankah bisnis ini resikonya kecil..!!!

“Oke, aku terima. Kau tunggu saja dalam satu dua bulan ini.”

“Mantapp.. Ini nomer handphone Lusiana, lengkap dengan alamat hotel dan nomor kamarmu. Kau anggap saja itu uang muka, hahaha.”

“Hei, ternyata kau sudah mempersiapkannya ?. Kau yakin sekali aku akan menyetujui berbisnis denganmu.”

“Aku tau siapa kau, kawan baikku. Hahaha. Dan andai kau tidak mau berbisnis denganku, biar kamar hotel itu aku yang pakai dengan Lusiana. Hahahahaha...”

Dia tertawa sangat keras. Aku hanya tersenyum. Dia berjalan keluar ruanganku, dengan wajah yang sangat puas dan lambaian tangan yang bertenaga. Aku termenung sebentar. Ya, bisnis ini, akan segera kulaksanakan.


*Kisah ini hanya fiktif belaka.