Sabtu, 30 April 2011

KARNA

Karna, dalam bahasa aslinya, memiliki makna yang hampir sama dengan pengorbanan. Dan karena itulah kemudian memainkan perannya dalam Mahabharata sebagai seorang yang memang akan menjadi korban. Seakan takdir telah menjebaknya untuk menjadi ‘tamu’ di antara Pandawa dan Kurawa : tidak pernah menjadi awal, dan pergi sebelum akhir. Dan akhirnya, mau tidak mau, Karna hanya akan menjadi korban, yang tidak pernah mencapai tataran tinggi untuk sangat diperhitungkan oleh sang dalang.

Eksistensi Karna muncul pertama kalinya, saat Pandawa dan Kurawa terlibat dalam adu ketangkasan pangran-pangeran Astina. Kemunculannya adalah tantangan bagi Pandawa, terutama Arjuna, karena pemuda gagah putra sais kereta ini mampu menyaingi ketangkasan Arjuna. Dia hadir sebagai dinding kokoh, yang membendung langkah Arjuna untuk meraih gelar pangeran tertangkas, setidaknya untuk hari itu. Namun, pada awal kemunculannya juga, Karna harus menyadari bahwa dia hanya akan menjadi “seorang yang tak dianggap”. Dia yang hadir ke tengah arena dan menyaingi Arjuna, harus rela dipermalukan hanya karena dia anak seorang sais kereta.

Kisah Mahabharata kemudian membawanya kepada keluarga Kurawa, yang mengangkatnya sebagai saudara, hanya karena Duryudana melihat Karna sebagai seorang yang akan mampu menyaingi Arjuna. Di sisi Kurawa itulah puncak tertinggi yang pernah diraih Karna, seorang anak yang terbuang, seorang murid yang terusir, dan seorang saudara yang tak dikenal.

Karna memang memiliki ketangkasan yang setara dengan Arjuna. Sangat wajar, karena sesungguhnya Karna adalah juga keturunan Dewi Kunti, ibunda para Pandawa. Karna lahir dari keisengan Dewi Kunti yang membaca mantra pemanggil dewa hingga akhirnya Bathara Surya datang dan mengawininya. Karna dilahirkan dengan membawa tanda-tanda ksatria yang menempel di telinganya, sebagai pertanda dia adalah keturunan Bathara Surya. Namun Dewi Kunti, yang tidak mengira keisengannya berakibat fatal, kemudian melarungkan Karna di sungai. Karna bayi, yang bahkan belum mengerti apa-apa, harus terbuang dan tersia-siakan. Akhirnya Karna ditemukan oleh seorang sais kereta yang merawatnya hingga dewasa.

Karna, yang merasa dirinya adalah seorang putra sais kereta, lalu bermaksud menimba ilmu kepada Parasurama, seorang pertapa yang membenci ksatria. Karna tentu saja tak pernah mengerti bahwa dia adalah seorang ksatria sejak lahir, karena kehidupannya adalah kehidupan kaum Sudra. Namun Parasurama dapat mengetahuinya, dan akhirnya Karna terusir dari sang guru hanya karena sebuah identitas yang tak pernah mampu dia singkap. Bahkan sang Guru mengutuknya bahwa dia akan melupakan seluruh ilmu yang telah dikuasainya ketika dia membutuhkan. Dan itu berarti sia-sialah semua proses berlatihnya.

Karna yang terusir dari gurunya lalu memilih untuk pulang ke rumah sang sais kereta. Dia melewati seorang anak yang menangis karena menumpahkan secangkir susu ke tanah. Karna yang bersih hatinya, lalu menggenggam tanah tempat jatuhnya susu itu lalu memerasnya sehingga susu itu kembali ke dalam cangkir. Namun sungguh malang nasib Karna, perbuatannya memancing amarah bumi yang juga berjanji akan memeras tempat Karna berpijak pada hari kematiannya. Jadilah Karna sebagai orang yang juga tertolak oleh Bumi.

Di sisi Kurawa lah, Karna menemukan tempatnya. Para Kurawa menerimanya dengan baik, bahkan menjadikannya seorang pangeran juga, yang berkuasa atas sebuah daerah bernama Angga. Kebaikan hati Kurawa kemudian membuat Karna berjanji membela membela mereka, baik dalam posisi salah ataupun benar. Dan bersama Duryudana (Kurawa tertua) dan Sengkuni (patih Kurawa), Karna menjadi tokoh antagonis yang disebut paling biadab oleh Mahabharata.

Kedekatan Karna dengan Kurawa membawanya terlibat dalam bentrok besar di Padang Khurusetra : Perang Bharatayudha. Dalam perang itulah, kutukan-kutukan yang telah dialamatkan kepada Karna membawa maut hinggap di pundaknya. Karna, yang juga panglima perang Kurawa, terbunuh oleh panah Pasoepati milik Arjuna. Namun itu bukan berarti Arjuna lah yang membunuh Karna. Arjuna hanya menyelesaikan hidup Karna, namun tak pernah bisa mengalahkannya. Kematian Karna dikarenakan dendam bumi kepadanya, sehingga bumi menggenggam roda kereta Karna di dalam lumpur. Karna yang berusaha melepaskan roda keretanya, kemudian sadar bahwa Arjuna telah berdiri di hadapannya. Karna kemudian bermaksud mengeluarkan ilmu yang diperolehnya dari Parasurama, namun kutukan Parasurama menahan ingatan dan kemampuannya. Hingga akhirnya, jadilah Karna bulan-bulanan panah sakti Arjuna, yang berdiri bangga seakan mampu mengalahkan Karna. Namun sekali lagi, Arjuna tidak pernah mengalahkan, dia hanya menyelesaikan.

Dan tumpahlah darah Karna, seorang manusia yang terlahir hanya untuk dikorbankan. Seorang manusia yang bahkan ditolak sejak masih bayi. Seorang manusia yang akhirnya akrab dengan kaum antagonis, hanya karena mereka lebih menerimanya dengan baik. Menjadi kalah atau menang, baik atau jahat, tidaklah pernah mengganggu pikiran Karna. Dia hanya ingin diterima, itu saja.

Karena sejarah ditulis hanya untuk yang bertahan, dan kebaikan hanya digariskan oleh yang menang, maka Karna hanya menjadi tamu sekadar lewat di dalam kisah Mahabharata. Tidak pernah dia memegang kendali besar dalam kisah Mahabharata. Selamanya, dia hanya akan menjadi seseorang yang ada untuk dikorbankan dan dianggap tiada.

PERAN GELAR KYAI DALAM KANCAH POLITIK

Arifinto, anggota DPR RI dari Fraksi-Partai Keadilan Sejahtera yang tertangkap kamera sedang video porno saat sidang paripurna, memang sudah mengundurkan diri dan menyelamatkan diri dan partainya dari hal-hal yang mungkin akan lebih memalukan. PKS dan DPR RI pun sudah memberi komentar terkait kasus Arifianto. Kejadian itu pun sudah sedikit terlupakan oleh rakyat, meski masih menyisakan keraguan : Benarkah seorang anggota legislatif yang terkenal alim dan berasal dari partai besar yang berhaluan islam tertangkap basah melakukan tindakan yang tidak terpuji?.

Terlepas dari ada atau tidaknya konspirasi untuk menjebak Arifinto dan PKS, kejadian ini semakin meruntuhkan kepercayaan rakyat pada wakil-wakilnya di Senayan. Setelah politisi-politisi berhaluan nasionalis kehilangan martabatnya dalam kasus-kasus korupsi atau penyalah gunaan wewenang, rakyat memang melarikan suaranya kepada partai-partai berhaluan agama. Setidaknya para kyai, ustadz, dan alim ulama lebih mengerti halal dan haram. Namun lambat laun, satu per satu dari mereka juga mulai berjatuhan.

Mungkin saja, kejadian-kejadian yang menimpa Arifinto dan politisi-politisi berhaluan agama lainnya adalah sebuah pertanda. Dan sudah seharusnya masyarakat sadar bahwa ada fenomena yang menarik dengan para politisi ulama di kancah politik negara kita, yang dapat ditilik dari berbagai peristiwa politik yang semakin sering terjadi. Salah satunya yang mungkin masih tertinggal di pikiran kita adalah agresi kalangan kyai untuk ikut terjun ke dunia politik pasca runtuhnya Orde Baru.

Ditandai dengan bermunculannya partai-partai berhaluan islam, dimulai dari Gus Dur dengan PKB nya, Zainuddin MZ dengan PBR nya, hingga Solahuddin Wahid dengan PKS nya. Sementara NU dan Muhammadiyah terus menjadi satelit pengawas roda pemerintahan. Para kyai tersebut turun gunung dengan visi yang hampir sama : memperbaiki pemerintahan dengan berpegang pada syariah-syariah agama.

Sementara para ulama besar merangsek ke ranah politik, di ranah dakwah mulai hadir ulama-ulama baru yang sering muncul di acara-acara televisi. Mereka lebih muda, lebih ganteng, dan lebih menjual dari pada kyai-kyai senior. Sebut saja KH Abdullah Gymnastiar atau lebih dikenal Aa’ Gym dengan Manajemen Qolbu nya, Ustadz Jefry dengan image Ustadz Gaul nya, atau Ustadz Yusuf Mansyur dengan Keajaiban Sedekah nya yang mulai menyedot perhatian.

Di ranah politik, para ulama semakin menguasai arena. Tidak hanya di perebutan kursi Senayan atau pada pemilihan Presiden, kyai-kyai di tingkat daerah juga mulai meramaikan pemilihan kepala daerah. Eksistensi para kyai itu didukung oleh tetap tegaknya pesantren-pesantren di daerah, khususnya di kota-kota yang berjuluk Kota Santri. Perbedaannya adalah, bila kyai-kyai di arena politik pusat sangat kuat karena manuver-manuver politiknya, kyai-kyai di daerah lebih kuat lagi karena nama besar dan pengaruhnya yang begitu mengakar di daerah tersebut.

Sedikit bukti pengaruh besar seorang kyai adalah kejadian pembakaran toko-toko milik etnis Cina di kota Bangkalan, Madura, di penghujung berakhirnya Orde Baru. Para pelaku pembakaran adalah pemuda-pemuda bersarung yang mengaku sebagai santri dan diperintahkan oleh kyainya. Kasus pembakaran itu akhirnya hilang dari peredaran tanpa proses hukum yang jelas.

Sangat wajar jika kemudian kyai-kyai di tingkatan daerah memiliki pengaruh yang sangat kuat. Hal itu dikarenakan gelar Kyai adalah gelar yang diberikan kepada ulama yang juga keturunan Kyai besar dan memiliki pondok pesantren. Pengaruh derajat keluarga memainkan peran penting disini, karena masyarakat menghormati seorang keturunan kyai setara dengan kebesaran kyai yang bersangkutan, yang mungkin pernah berjasa besar untuk daerah tersebut.

Gelar Kyai menjadi gelar keturunan yang penting, sama pentingnya dengan gelar pangeran di kalangan kraton. Gelar Kyai seakan menjadi jaminan keberhasilan calon kepala daerah dalam pemilihan. Peran gelar itu sangat terlihat dari banyaknya kyai yang maju sendiri dalam pilkada, atau menjadi jujukan para politisi non-Kyai untuk meminta restu dan dukungan sebelum maju dalam pemilihan. Gelar itu juga lah yang akhirnya membuat masyarakat mengendorkan kontrolnya terhadap jalannya roda pemerintahan, serta membuka pintu selebar-lebarnya untuk pelanggaran dan aksi penyelewengan lainnya.

Kembali menyoroti Kota Bangkalan, salah satu Kota Santri yang kepala daerahnya juga berasal dari kalangan Kyai. Roda pemerintahan berjalan dengan kontrol masyarakat yang kurang, sehingga banyak kasus yang sempat tercium kemudian hilang tanpa ada kejelasan secara hukum. Dimulai dari kasus ijazah palsu sang bupati, kasus jual beli jabatan pemerintahan, hingga kasus penyunatan dana bantuan korban Sampit. Kasus-kasus ini seakan aman dari pengawasan KPK maupun penegak hukum lainnya, sementara masyarakat memilih diam dan menanggapi dengan dingin. Sementara yang bersuara, pasti menemui masalah seperti yang terjadi pada Aliman Haris dan Fachrillah.

Apa yang terjadi di Bangkalan adalah salah satu contoh dari pengaruh buruk gelar Kyai dalam roda pemerintahan. Namun bagaimanapun, gelar keagamaan tetap merupakan sarana termudah untuk mencapai popularitas dan pengaruh di masyarakat. Karena itu juga, nama besar Aa Gym, Uje, dan Yusuf Mansyur tidak bertahan lama. Eksistensi mereka digantikan oleh ustadz-ustadz baru yang lebih eksis di televisi, yang mungkin juga akan segera tergantikan mengingat gelar agama masih memainkan peran penting di ranah politik dan msyarakat Indonesia.

Tentu tidak ada salahnya bila kalangan ulama dan kyai turut hadir juga di ranah politik. Bukankah perbaikan dapat dilakukan oleh siapa saja dan berasal dari kalangan manapun. Hanya saja masyarakat harus lebih menyadari bahwa kalangan kyai dan ulama juga manusia yang tak bebas dari salah dan lupa, sehingga kontrol terhadap pemerintahan tetap harus ditegakkan oleh masyarakat, bahkan oleh santri terhadap kyainya sekalipun. Dengan adanya kontrol ketat itulah, visi dan misi para politisi kyai dan alim ulama dapat semakin nyata penerapannya.

Kamis, 21 April 2011

Sebuah Hasil Pikir-Pikir

BELAJAR DENGAN HATI

(REKONSTRUKSI SISTEM PENGAJARAN MATERIALISTIS DI INDONESIA)

25 tahun lalu, Deni kecil adalah seorang bocah laki-laki yang ceria, penuh semangat, dan aktif. Rasa ingin tahunya selalu membuncah, melucuti identitas semua benda yang diliriknya. Cita-citanya sungguh mulia : Menjadi dokter. Alasannya adalah agar bisa menolong orang sakit, kaya atau miskin. Orang tuanya sangat bangga padanya.

Namun kini, Deni yang sudah berusia 30 tahun, adalah seorang pribadi tegas dan sukses. Cita-citanya untuk menjadi dokter tercapai, namun tidak dengan alasannya. Dia adalah seorang dokter yang berorientasi pada uang. Dia tidak ragu untuk mencantumkan biaya yang sangat mahal untuk praktiknya, dan tidak segan mengusir pasien yang celananya lusuh tanda tak mampu. Untunglah Deni sangat cerdas, setidaknya orang-orang kaya masih memilihnya menjadi dokter andalan. Tapi masalahnya bukan pada siapa pasiennya. Masalahnya adalah ada apa dengan Deni..? Apakah yang membuatnya menjadi seorang profit oriented..?

Yang terjadi pada Deni bukanlah fenomena langka. Itu malah boleh disebut sebagai mindset orang sukses kebanyakan. Mereka yang beranjak remaja dengan cita-cita mulia, lalu tumbuh dewasa sebagai sosok yang oportunis dan melupakan betapa mulia jalan pikiran mereka masa kecil. Dan untuk pendapat itu, mereka akan dengan mudah menjawab, “Ahh, dulu kan masih kecil, belum mengerti apa-apa..”.

Jadi, haruskah menjadi tidak mengerti apa-apa hanya untuk menjadi orang mulia..?. Dan, apakah itu juga berarti orang yang mengerti adalah orang yang hidup dari mencekik sesamanya, mengeruk keuntungan berlipat-lipat demi dirinya sendiri..? Hmm, mungkin sudah seharusnya mereka mem-format ulang arti kata-kata di Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Mari kita anggap fenomena itu sebagai sebuah masalah. Jika seorang anak yang belum sekolah bisa sedemikian mulia impiannya, namun menjadi sedemikian gelap perilakunya setelah selesai sekolah, berarti ada yang salah dengan fase sekolah itu. Ahh.., coba kita mem-flashback memori kita menuju bangku SD.

---> guru Matematika : Ayo anak-anak, kita belajar berhitung, jadi nanti kalau menghitung uang gak bingung.

---> guru Pendidikan Djasmani : Berlatihlah setiap hari, dan jadilah atlet seperti Pele yang digaji ratusan juta rupiah.

---> guru Agama : Tiap hari harus sholat, biar rejeki tambah lancar.

---> guru Bahasa Indonesia : Ayo bahasanya diperbaiki, biar bisa jadi artis dan terkenal kayak Meriam Bellina.

Lalu waktu kita SMP,

---> guru Fisika : Kalau kamu bisa menguasai hukum-hukum Fisika, kamu bisa menciptakan sebuah alat dan kamu jual dengan harga yang tinggi, seperti yang dilakukan Thomas Alfa Edison.

---> guru Komputer : Kuasailah bermacam-macam software komputer, dan kamu akan sukses mencari uang dengan mudah.

Dan waktu SMA,

---> guru Bahasa Inggris : Bahasa Inggris adalah bahasa internasional. Kalau kamu bisa berbahasa Inggris, kamu akan mudah dapat kerjaan dengan gaji yang tinggi.

Ada yang aneh..?

Ya. Kenapa guru-guru suka sekali menekankan petuahnya pada kalimat-kalimat berbau uang dan popularitas..?

Tidak diketahui alasannya apa. Tapi yang cukup terlihat adalah, bahwa bapak dan ibu guru berhasil mendidik murid-muridnya untuk belajar giat demi mendapatkan hidup enak, uang banyak, dan terkenal dimana-mana. Dan akhirnya, murid-murid itu berlomba-lomba mencari kesempatan-kesempatan, berlari-lari di bawah roda-roda mindset hidup enak, dan akhirnya tak menyadari bahwa mereka sudah menjadi robot-robot yang disetel sedemikian rupa untuk menjadi penganut materialisme. Mereka bekerja lembur siang malam untuk menghasilkan uang dan uang, demi kenikmatan yang akan mereka nikmati setelah gajian besok. (pertanyaannya: kalau mereka mati sebelum gajian, apa kontrapretasi dari kerja lembur mereka..? Apakah mereka akan menikmati gaji itu..?)

Tak hanya itu.

Pembunuhan karakter juga sangat sering terjadi di dalam kelas. Tak jarang oknum guru memaki murid-muridnya yang tidak bisa mengerjakan soal di papan tulis, atau mendapat nilai buruk saat ulangan.

Ada yang salah dengan itu..?.

Ya, tentu saja. Bayangkan saja seorang murid, yang memang lemah di pelajaran itu, kemudian dihina oleh gurunya, lalu merasa minder dan akhirnya bolos sekolah. Dan guru tidak mau tahu akan itu. Bukankah tugas guru adalah memotivasi mereka. Bukan sebagai orang yang lebih pandai dari mereka, melainkan sebagai orang yang lebih dulu belajar dan bermaksud untuk merangsang mereka untuk belajar. Namun yang terjadi adalah banyak guru yang merasa lebih pandai dari murid-muridnya, lalu membuat standar dalam kelas, dan menghina mereka yang gagal mencapai standar itu.

Memang tidak semua guru seperti itu, dan untuk seterusnya kita akan menyebut para pelaku dengan kata “oknum guru”. Yang pasti, tindakan menghina atau pembunuhan karakter itu sangat tidak tepat. Kebanyakan para pembunuh karakter adalah mereka yang terlalu ingin meniru mind-set orang-orang Barat yang mencoba mengukur semuanya dengan nilai. Namun masalahnya adalah, ketika orang-orang Barat memberi ruang yang luas untuk potensi murid, ternyata para peniru mind-set sangat menutup sempit potensi itu. Mereka membuat seakan-akan hidup ini ditentukan oleh nilai 75 untuk Matematika dan Bahasa Inggris, dan membuat nilai 100 untuk Seni Budaya dan Penjaskes sangat tak berguna.

Kesalahan mind-set para oknum guru kemudian membuat kekacauan terjadi di dalam kelas. Banyak murid yang kemudian mencontek hanya untuk mendapat nilai 90 di ulangan Matematika, atau menyogok sang oknum untuk mendapat bocoran soal Kimia. Kalau sudah seperti itu, apakah standar nilai masih berlaku..?. Lebih parahnya adalah ketika kemudian para oknum guru menggunakan standar nilai untuk mengadakan les tambahan dengan biaya berjuta-juta, yang tidak semua murid akan sanggup membayarnya. Itu akan membuat para murid akan belajar bagaimana menempatkan orang miskin di posisi sulit, dan membantu mereka yang bayar.

Dan yakinlah, permainan standart nilai itulah yang kemudian membuat murid-murid tertekan di kelas dan begitu antusias dengan bel pulang sekolah. Itu pula yang menyebabkan hari terakhir ujian sekolah, atau hari kelulusan adalah hari pelampiasan dari perasaan tertekan mereka di kelas.

Sudah seharusnya para guru membuka lebar perkembangan potensi murid-muridnya. Mereka yang mencintai Matematika, bantu mereka berkembang. Mereka yang mencintai musik, rangkul tangan mereka untuk mengenal nada-nada. Jangan biarkan otak mereka terisi oleh doktrin-doktrin tentang pelajaran mana yang lebih baik dan lebih penting. Biarkan mereka mengikuti minat mereka. Biarkan mereka mendengar isi hati mereka, sebagai langkah awal mereka untuk menjadi berguna bagi masyarakat. Budayakan mereka dengan sistem belajar dengan hati, untuk mendengar isi hati mereka, untuk mendengar apa yang bisa mereka lakukan untuk masyarakat. Ajari mereka bahwa kenikmatan hidup tidak pernah memiliki korelasi dengan uang dan emas. Biarkan mereka menentukan diri mereka sendiri. Justru itulah tujuan tertinggi dari kegiatan mengajar.

Dan hasil akhir dari pendidikan itu adalah sebuah pola pikir tentang kehidupan dengan sudut pandang di luar rotasi uang dan popularitas. Dan disitulah, para pemimpin masa depan tercetak. Para guru masa depan mampu mencetak bibit-bibit yang lebih unggul lagi. Jika semua sudah tercapai, Indonesia akan benar-benar menjadi tanah air beta, bukan Indonesia Tanah Air (Beta).

Sabtu, 09 April 2011

SEANDAINYA SAJA DULU

Catatan milik Arief Budi Laksono


Seandainya sejak dulu barang itu aku beli....

Seandainya dulu aku pergi ketempat itu....

Seandainya dulu aku menunggu disitu....

Seandainya dulu aku bawa benda itu....

Seandainya dulu aku menghubungi nomor itu....

Seandainya sejak dulu aku belajar tentang itu....

Seandainya dulu aku mulai mengenal orang itu....

Seandainya dulu aku menjawab itu....

Seandainya dulu aku memilih itu....

Seandainya dulu aku melakukan itu....

Seandainya dulu aku percaya itu.....

Pasti jadinya tidak akan begini dan begitu....Pasti jadinya akan seperti ini dan seperti itu.... Karena sudah jelas kalau dulu seperti itu dan begitu, maka aku akan menjadi seperti ini dan begini....



Secuil prakarta yang sering hadir dalam pikiran orang-orang yang tidak mau berusaha menyambut hidupnya. Sering menyalahkan masa lalunya.... memperdebat kekeliruan lamanya.... mengungkit-ungkit pilihan-pilihannya.. (apakah itu anda??)

Padahal, seandainya saja memang waktu itu bisa diputar dan dia bisa melakukan segala perbaikan-perbaikan yang dia permasalahkan saat ini. Cukup menghitung hari sampai dia mulai merasa ingin kembali kemasa lalu dan melakukan perbaikan-perbaikan lagi untuk kedua kali, atau bahkan sampai ketiga kali, atau malah keempat kalinya, seterusnya sampai puas dan benar-benar merasa sesuai. Meskipun itu mustahil tapi kadang-kadang ada juga orang bodoh yang berkeinginan seperti itu. (apakah itu anda??)

Parahnya, masih banyak orang yang tidak percaya kalau hari ini, detik ini, dia bisa melakukan sesuatu yang lebih baik dan lebih luar biasa. Bukan yang seperti yang dia inginkan, tapi sebetulnya memang seperti yang dia butuhkan. Sayangnya masih saja banyak orang terbuai untuk bisa merubah masa lalunya. (apakah itu anda??)

Seandainya saja kita tahu bahwasannya cerita hidup saat ini tidak akan sama ketika masa lalu tidak seperti yang terjadi saat itu. Tapi masih saja ada orang bodoh yang merasa cerita itu akan sama jikalaupun masa lalu bisa dirubah, dan itu akan membuatnya lebih mudah. (apakah itu anda??)

Jikalau itu memang anda, maka tidak ada kata-kata yang bisa diucapkan lagi kecuali. AYO BEKERJA...!!

Yang dibayangkan untuk bisa dirubah itu bukan masa lalu, tapi masa sekarang. Biarlah yang lalu menjadi ilmu dan yang salah menjadi hikmah. Jadi jelas sebabnya toh kenapa spion sama kaca mobil depan kok lebih besar kaca mobil depannya, karena yang dilihat itu "ada apa didepan" dan cukup melirik "bagaimana keadaan dibelakang", selesai sudah.

Setiap waktu itu adalah ilmu, dan segala ilmu itu akan ada waktunya..

Anda tidak mau disebut bodoh bukan..?
Yuk berubah, jadi lebih baik.. Dimulai dari apa yang bisa kita perbuat, pada detik ini..

Dan mari kita saling mengingatkan.

Senin, 04 April 2011

OBRAL...

3 maret 2011, mungkin tidak ada yang istimewa dengan hari ini. Hanya hari biasa di antara hari-hari yang biasa juga. Aku dan Lissa pergi belanja ke Hypermart Matos, selain untuk menyegarkan pikiran yang beberapa hari ini penuh dengan teori-teori sastra dan linguistik, juga untuk membeli barang-barang yang persediaannya perlu ditambah.

Matos hari itu sangat panas. Bukan karena AC nya mati, tapi lebih karena padatnya pengunjung yang akan berbelanja atau hanya nongkrong di pinggir pagar besi. Tak jauh beda dengan Hypermart-nya. Dengan menjinjing sebuah keranjang belanja, kami menyusuri baris demi baris etalase tinggi yang berjejer. Melewati stand-stand kosmetik hingga sabun cuci piring, sambil ngobrol tentang beberapa hal menarik yang kami temui hari itu.

Tak lama, akhirnya daftar belanjaan telah terpenuhi semua. Ya, dia memang terbiasa mencatat semua kebutuhan yang akan dibeli, setidaknya untuk mecegah adanya “kebutuhan mendadak” yang seharusnya tidak perlu dibeli. Kami kemudian menuju kasir Hypermart yang tak pernah sepi melayani pembeli. Dan karena padatnya pengunjung, kami pun harus antri.

Tiba-tiba terdengar suara sesorang melalui pengeras suara,

“OBRAL OBRAL... Roti hangat.. Dua buah dijual seharga satu saja...”

Kami pun melirik ke arah suara itu. Seorang lelaki dengan pakaian khas koki lengkap dengan celemek tampak memegang microphone. Dibelakangnya dua orang wanita mendorong sebuah etalase penuh roti bulat yang terlihat sangat hangat dan berukuran besar.

“OBRAL... Roti rasa Mexico.. Masih hangat, fresh dari oven, kami jual dengan harga miring.. beli satu dapat dua...”

Beberapa pengunjung tampak mendekat, lalu setelah menyadari bahwa peminat makin banyak, mereka kemudian berlomba satu sama lain untuk mendapatkan roti murah itu.

Aku dan Lissa tersenyum.

“Kata OBRAL adalah kata yang sangat mengandung efek magis”, kataku. Lisa tersenyum saja, sambil melihat ke arah yang sama dengan arah pandanganku.

“Ternyata gak hanya ibu-ibu, suami-suami juga ikutan tersihir,hihi ”, serunya geli.

“Ah itu kan gara-gara istrinya pada belanja yang lain, jadi suaminya yang bertindak”, balasku.

“Hmm, pasti roti itu adalah kebutuhan yang sebenarnya tidak mereka perlukan. Bukankah mereka awalnya lalu lalang saja di tempat itu, tanpa melirik ke arah stand roti. Tapi keajaiban kata ‘OBRAL’ membuat mereka rela menempatkan roti itu sebagai kebutuhan tambahan dan menggagalkan rencana penghematan”

Lisa hanya tersenyum kecil.

“Tapi rotinya besar juga lho, memang harganya berapa ?” tanyanya. Aku melirik ke arah ibu-ibu yang baru saja membeli roti itu. 12.000 rupiah !!

“Wah, untuk roti ukuran segitu, cukup murah ya..”

“Ya sudah lah, kan itu gak masuk ke daftar kebutuhan kita..”

Akhirnya tibalah giliran kami untuk dilayani kasir. Setelah membayar barang-barang tersebut, kami bergegas keluar dari toko besar itu. Dalam hati aku memuji Lissa, yang menurutku hatinya cukup teguh untuk tidak luruh dalam rayuan kata OBRAL dan mengeluarkan uang untuk membeli roti hangat tadi. Ya, kebanyakan wanita K.O. dengan kata-kata ajaib SALE, OBRAL, GRATIS, DISKON, ataupun UNDIAN. Dan hari itu Lissa membuktikan dia mampu menjaga hatinya dan menjaga rencana penghematan kami.

Lalu kami berjalan ke arah pintu keluar dari Matos. Tiba-tiba Lissa menuju ke sebuah stand penjual roti, dan membeli 2 buah roti bulat kecil. Sambil berjalan, aku bertanya harga dua buah roti itu padanya. Dia menjawab, 17 ribu. Dan aku tersenyum getir. Bukankah roti di Hypermart tadi jauh lebih besar, lebih murah, dan rasanya belum tentu tidak lebih enak dari roti kecil ini. Ah, penghematan..penghematan...