Minggu, 09 Oktober 2011

PENDEKAR JURUS MABUK

Sebuah catatan dari seorang dosen..

Di suatu negeri lahirlah seorang pendekar perempuan hitam kekar. Wajahnya menakutkan. Tutur katanya halus tetapi berdarah dingin. Di tangan kanannya digenggamlah surga dan tangan kirinya neraka. Dia menguasai sebagian wilayah negeri. Yang tidak menurutnya apalagi melawan, dimasukkannya ke dalam wajan penggorengan, neraka miliknya. Yang selalu menurutnya tentu surga yang didapat. Karena kekejamannya itu sudah beberapa rakyatnya yang menjadi korban. Mereka disiksa dengan kesulitan dan ketakutan hidup. Tirani, tidak ada satupun yg bisa menjatuhkan. Hidup dalam ketakutanlah yg dirasakan oleh rakyatnya. Jurus mabuk adalah strategi mengatur negerinya.

Sebenarnya di negeri itu sudah ada para kesatria dan pemikir cerdas yang siap menghadapi kedholiman pendekar. Namun, aksi mereka sedikit terkecoh oleh beberapa rekan yang bersikap ambigu karena sudah pernah mencicipi surga pendekar, uuuuenak katanya, bahkan ada yg bilang "alhamdulillah". Padahal sedikit , tak sebanding dengan apa yg dirasakan rakyat akibat kekejaman pendekar. Di lain pihak, ada yg berpesta api unggun ingin menyaksikan kemenangan pendekar karena ia mendapat iming-iming surga.

Oya, umur si pendekar itu ya sudah renta, sudah sering sakit-sakitan, tapi gak mati-mati karena punya kekebalan ilmu hitam. Bergurunya jauh sekali, di luar negeri. Tapi dasarnya memang berhati hitam, selegam kulitnya, jadi, yang dicari ya ilmu-ilmu hitam. Misalnya, bagaimana supaya rakyatnya yang cerdas tapi tidak ia sukai itu menjadi bodoh, tidak mendapat kesempatan mencari ilmu. Bagaimana supaya kesatria pangkatnya tidak naik-naik karena selalu mengkritisi jurus-jurus mabuknya. Dan sengaja rakyatnya dibuat kacau berebut makan. Dia meringis kalau menyaksikan rakyatnya itu berjubel dan berbaku hantam satu sama lain, berebut tetesan surga yang dikucurkan dari tangannya- yang sebenarnya mereka adalah orang-orang baik-.

Sebagai pendekar yang cukup ditakuti di wilayahnya tentu ia memiliki para pengikut setia. Tingkah polah dan sikap para pengikutnya, pasti tidak jauh beda dengan si pendekar itu. Bagi para pemikir dan kesatria yang pernah menempuh ilmu di perguruan yang mengedepankan moralitas, perilaku mereka itu sebenarnya tidak pantas dijadikan para punggawa. Tapi, ya, karena ini kan pemimpinnya orang hitam luar... dalam dipastikan orang-orang yang terpilih juga yang suka berhati hitam. Mereka suka menjilat sudah barang tentu. Omaongannya sulit bisa dipercaya dan suka makan hak orang lain. Kalau ngomong, nerocos, seolah-olah dia pintar dan beraliran orang putih, berputar-putar dan suka bersilat lidah. Misalnya dia mengatakan "kamu harus berterima kasih kepada lembaga (pendekar) yang telah membantu kamu". Padahal, sebenarnya mitra tutur itu punya hak yang lebih menurut ketentuan di pusat. Mulutnya suka komat-kamit ke sana kemari untuk memperlihatkan pada yang lain bahwa dia adalah orang sakti karena dekat dengan sang hyang widi. Para punggawa itu sangat setia karena di samping merasa seperguruan, juga merasa sangat senang dan berterima kasih atas jasa-jasa pendekar yang mengubah drastis hidup mereka dan status sosialnya, bisa bergelimang manisnya surga buatannya. Begitu menjadi punggawa, jiwa uforianya langsung muncul seolah-olah dia tidak akan pernah bernasib seperti rakyat yang lain -yang sengsara-.

Tentang penidikan para punggawa itu, sebetulnya awalnya biasa-biasa saja. Mereka menjadi top karena difasilitasi oleh pendekar untuk maju, sehingga mereka bisa belajar ilmu di beberapa perguruan bonafit dalam dan luar negeri. Bahkan, ada punggawa yang status pendidikannya tidak jelas karena sebelumnya ijazahnya hanya pendidkan khusus/seperti kursus di perguruan tertentu, bukan ikut kelas reguler, ...sehingga secara keilmuan pun memang meragukan kesaktiannya, kecuali dalam strategi perang. Mereka sudah canggih karena sejak awal dia selalu berpikir trik berperang. Ya...intinya yang penting menang. Jiwa kejam itu sudah melekat sejak awal pada para penganut ilmu hitam. Tidak ada dalam pikiran mereka idealisme itu bagaimana, padahal sebagian tugas mereka adalah menjadi guru. Mereka berpikir sangat praktis, yang penting dapat tiket masuk surga itu. Mereka sangat tidak cocok dengan orang-orang yang mengedepankan idealismenya. Mereka sering mengatakan bahwa para kesatria itu banyak omong atau provokator. Padahal, bagusnya negeri itu berawal dari hal-hal yang ideal dan idealisme adalah paradigmanya. Para kesatria itu menginginkan hal-hal ideal itu diterapkan di perguruannya karena disitulah pribadi bangsa di bentuk, sehingga perguruan menghasilkan lulusan-lulusan yang berkarakter atau bermoral baik.

Dasarnya memang para punggawa berhati hitam sehitam hati boss, meskipun dapat ilmu baik-baik di negeri seberang, kembali ke tempat asal ya, tetap tidak baik. Misalnya, sekarang bilang A besok ganti B. Dalam waktu sehari lidahnya sudah terbalik. Memang ini persis yang dilakukan oleh pendekar jurus mabuk. Pernah dia mengumpulkan rakyat supaya melanjutkan sekolah agar kualitas kerajaan membaik. Denga...n spontan rakyat yang polos dan jujur menangkap wejangan itu dengan suka cita. O...ternyata pendekar hitam ini baik juga, orangnya berpikiran maju. Akhirnya, beberapa rakyat yang semangat sekolah memilih tempat pendidikan yang bagus, yang diidam-idamkan banyak orang. Oalah, apa lacur...ternyata yang dimaksudkan oleh pendekar itu supaya rakyatnya itu segera sekolah di tempat belajarnya yang dulu. Mungkin ada kerja sama dengan para pendekar di sekolahnya yang terdahulu itu. Dan, ternyata pendekar hitam itu sudah membuat aturan licik (karena kekuasaannya, meskipun terkesan dipaksakan, mengada-ada). Intinya, yang berguru di tempatnya dulu, akan tetap mendapat gaji, sedangkan yang di luar daerahnya, gaji dihentikan. Aturan yang dibuat sendiri dan mengada-ada karena menurut sistem pemerintah pusat, kebijakannya tidak seperti itu. Pokoknya jurus mabuknya selalu dipakai untuk apa saja yang ia inginkan. Biar para pembaca tahu ya...di perguruan tempatnya yang dulu itu sebenarnya ilmunya juga baik-baik. Namun, kabarnya, para lulusannya itu kalau bekerja dan berorganisasi juga suka memakai jurus mabuk. Jurus mabuk itu ya ngawur yang penting dapat, dan suka main keroyok tidak layaknya para kesatria dari perguruan lainnya.

Dalam hal keroyok-mengroyok, para punggawa sangat kompak. Bila ada orang yang sama ilmunya di tengah-tengahnya tapi dari perguruan yang lain, mereka menganggap itu sangat berbahaya dan harus dimusnahkan. Intinya, mereka berpikiran bahwa orang yang bukan dari kelompoknya adalah musuh, terlebih ia datang dari berbagai perguruan yang lebih mengedepankan moralitas itu. Mereka khawatir di samping pos...isinya tergeser juga khawatir ketahuan perilaku korupnya. Di samping memiliki kebiasaan korup, sikap komunalnya sangat tinggi. Artinya mereka akan mengundang teman sebanyak-banyaknya untuk mengeroyok makanan tanpa dipikirkan bagaimana kelanjutan cara mencari makan kerajaan. Mereka mendatangkan pasukan sekompi, juga bertujuan untuk menyingkirkan yang bukan kelompoknya. Primordial sekali dan seperti budaya masyarakat primitif. Tidak habis pikir mengapa perguruan mereka dulu membuatnya seperti itu. Para punggawa sering panik melihat para kesatria yang cerdas meskipun para kesatria sebenarnya juga tidak peduli dengan apa yang mereka lakukan. Ya, mungkin karena merasa kurang kompeten saja yang membuat mereka sering mabuk, kikuk, dan bingung pada saat menghadapi para kesatria cerdas dan pintar, tidak mau dibodohi itu. Pada saat yang demikian biasanya mereka suka mengeluarkan jurus mabuknya. Misalnya, tidak memfungsikan orang-orang cerdas itu sebagai guru. Jam mengajarnya dikurangi, tapi ngomongnya kepada yang lain adalah karena para kesatria itu sikapnya arogan, dan memang tidak mau mengajar. Kan sama persis dengan sikap pendekar mabuk itu. Kekejaman mereka dibungkus dengan kemasan bahasa yang halus dan religiusitas yang seolah baik. Semua itu tidak lain adalah untuk menutupi hal sebenarnya yang hitam kelam itu. Dan dengan bersenjatakan itu buktinya mereka mampu menyingkirkan siapapun yang dianggap lawan. Artinya, mereka bukanlan orang beragama sejati. Mudahnya, jika ada yang mau membeli mahal mereka supaya melakukan apapun sesuai dengan pesanan, dia akan lebih menunjukkan ketaqwaannya kepada sang hyang widi supaya lebih terlihat kesaktiannya.

Diantara para punggawa dholim itu ada satu yang perilakunya merupakan fotokopi pendekar. Jadi, apa yang ada dipikiran pendekar itu ada persis seperti di pikiran punggawa itu. Dialah punggawa kesayangan pendekar. Sekilas wajahnya seperti orang baik dan polos. Namun, satu jam saja bersama dia, bisa dirasakan magnetik kebenciannya kepada orang-orang yang menjunjung idealisme. Dia berjuang mati-matian untuk menjaga nama naik pendekar dan supaya pendekar tidak dijuluki sebagai pendekar jurus mabuk, karena sebenarnya julukan itu adalah cemoohan kepadanya dari para kesatria dan rakyat atas kebijakannya yang amburadul dan tidak tersistem atau bahkan terkesan primitif. Dia selalu berpenampilan ramah kepada kesatria yang dianggap musuhnya, ya halus, supaya musuhnya tidak tahu bahwa sebentar lagi dia akan mati. Ilmu licik itu seolah sudah mendarah daging di tulang sum-sumnya tanpa ada rasa bersalah sedikitpun, apalagi rasa berdosa. Makanya mereka dikatakan "berdarah dingin itu". Meskipun korban (jika rakyat) tahu akan gelagat dia ke sana (akan menghabisinya), sebagai orang yang belum pernah mengenyam ilmu hitam, apalagi mempraktikkannya, apalagi dapat gelar berhati hitam, tentu mereka berusaha bersikap polos dan selalu menjaga pikiran positif kepada punggawa seperti yang dilakukan pula oleh para kesatria. Ternyata kepolosan, kejujuran, dan etikat baik rakyat/kesatriapun akhirnya dipakai pula sebagai senjata melumpuhkan. Bahkan, semboyannya meskipun orang yang dianggap musuh/lawan sudah tinggal separuh nafas, tetap harus dihabisi.

Pendekar jurus mabuk yang berambut keriting itu sudah berkali-kali merebounding rambutnya, tapi tetap saja tidak bisa lurus-lurus, bahkan kapster sering minta ongkos dobel untuk meluruskannya karena membutuhkan waktu 3x lipat dibandingkan dengan rambut perempuan pada umumnya. Menurut kapster yang suka nginang itu (paranormal juga) yang keriting bukan sekedar rambutnya, tapi memang pikiran-pikirannya juga keriting. Dia tidak pernah berpikir lurus, sedangkan rambut merupakan bagian tubuh yang melekat pada organ kepala. Rambut itu paling dekat dengan otak manusia yang menyimpan berjuta pikiran. Jadi bisa ditebak berjuta pikiran semrawut ada di otaknya. Pantas saja kebijakan-kebijakannya semrawut juga sesemrawut rambut dan pikrannya itu. Kapster untuk meluruskan rambutnya saja perlu waktu 3x apalagi untuk meluruskan pikirannya. Memerlukan waktu 3x lipat lagi dari waktu meluruskan rambut. Bahkan kapster pernah minta ampun agar tidak rebounding lagi di tempatnya karena meskipun seperti tidur waktu direbounding pikirannya masih berjalan ke sana- ke mari yang tentu sangat merepotkan kapster. "Wah pendekar hitam ini memang tidak bisa menjadi orang putih, akan tetap hitam sampai api neraka nanti menghanguskan badannya".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar