Kamis, 17 Maret 2011

WANITA TULI DAN SUAMINYA

Disarikan dari kisah pendek karya Kahlil Gibran.

Hiduplah seorang wanita tuli namun rupawan yang menikah dengan seorang lelaki kaya raya. Hidup mereka sungguh damai dan berbahagia, karena sang suami selalu menyayangi istrinya. Dan sang istri suangguh berbahagia karena ada yang memberinya cinta sedemikian besar.

Suatu ketika, sang istri pergi berbelanja ke pasar seperti hari-hari sebelumnya. Dilihatnya iring-iringan saudagar yang membawa pakaian dan perhiasan yang sangat indah. Hatinya sungguh tergoda untuk membeli barang-barang mahal itu. Akhirnya dia berlari ke rumahnya, dan ditemuinya sang suami.

“Suamiku, aku ingin membeli pakaian dan perhiasan indah yang tadi kutemui di pasar”, ujarnya pada sang suami.

Sang suami tersenyum, sambil menatap istrinya, dia berkata,”Bila kau menginginkannya, pergilah dan belilah sebanyak yang kau mau”.

Sang istri menatap sang suami,”matahariku, izinkan aku membelinya”.

Sang suami kembali mengulang senyumnya, “Pergilah cintaku. Ambillah sebanyak kau mau”.

Sang istri terhenyak, lalu menangis,”aku tak menyangka kau begitu sayang pada hartamu. Aku hanya ingin membelinya, dan itu tak akan mengurangi banyak hartamu. Namun kau melarangku, lalu apa gunanya kekayaanmu bila tak dapat membahagiakan aku?”.

Sang suami segera menjawab,”Sayang, aku katakan pergilah. Ambillah sebanyak kau mau. Seluruh yang kumiliki hanya untukmu”. Namun sang istri terus saja menangis.

Akhirnya sang suami mengambil segenggam emas, lalu menggenggamkannya pada tangan istrinya. Istrinya menatapnya, lalu tersenyum manis. Kemudian sang istri pergi dan membeli pakaian serta perhiasan yang dia suka. Sementara sang suami belajar satu hal, bahwa jika sang istri menangis, dia harus segera menggenggamkan emas kepada kekasihnya itu. Dan itu selalu dilakukannya.

Beberapa waktu kemudian, sang istri pergi ke pasar dan bertemu seorang pemusik keliling yang berwajah rupawan. Dia jatuh cinta pada si pemusik. Namun pemusik itu hanya mampir sebentar di kota itu, kemudian berlalu ke kota yang lain. Akhirnya karena termakan rindu, dia sering menangis terisak di rumahnya. Apapun sudah tak berarti baginya, dan setiap hari dia hanya menangis. Demi melihat istrinya menangis, sang suami dengan setia menggenggamkan emas ke tangan istrinya yang masih saja tak berhenti menangis.

SYAIR KEHIDUPAN

Hidup ini sangatlah susah

Tiap jengkalnya adalah tandus

Dan Tuhan pun begitu megah dalam tindakan-Nya

Menumbuhkan kita sebagai tanaman semak kecil di ketandusan ini...

Tapi kita juga mengenal cinta

Yang mengalir sebagai air di lahan ini

Yang mengirimkan sari-sari kehidupan ke dalam akar-akar kita

Lalu kita bisa hidup...

Maka dengan air yang sejuk itulah

Aku berbicara dan menggumam

Dalam tiap-tiap syair yang tertulis di robekan kertas

Tentang sebuah arti abadi kehidupan...

Air itulah yang sangat menghidupkan..

Kala kudengar bapakku bercerita

Tentang masa kecil yang tak lekang.

Tentang kehidupan ekonomi yang kerontang.

Tentang perjuangan ibu yang terjaga di tengah malam

menggoreng adonan roti atau keripik ubi

membawanya di keranjang sepeda mini usang

menitipkannya pada penjual jajanan di pasar

pagi sekali sebelum berangkat mengajar..

Tentang cucuran keringat bapak di angkot yang penuh penumpang

di balik seragam PNS-nya yang kekecilan dan mulai lusuh

yang dikenakannya sedari pagi hingga tiba kembali di rumah saat petang..

Tentang tangisanku yang merengek-rengek

meminta sebuah mainan mobil remote control seperti punya tetangga

dijawab dengan janji ibu,”Nanti kalau sudah punya uang.”

namun tetap saja tak terbeli...

Lalu saat ibuku yang pulang tanpa sepeda mininya

yang katanya sedang diperbaiki di bengkel

padahal kulihat sepeda itu terparkir di gudang Pegadaian..

Juga saat ayahku diam termenung

sewaktu kuutarakan keinginanku untuk ikut Bimbingan Belajar di Primagama

dan berakhir dengan kerelaanku untuk belajar sendiri di rumah..

Di saat-saat itulah...

Dari derai air mata dan peluh di pundak orang tuaku..

Kulihat setitik mata air dan embun mengalir..

Deras... Dan menyegarkan daun-daun hijau di tubuhku yang nyaris layu...

Lalu mengembang kembali...

Disini...

Di syairku juga kutuliskan tentang bait-bait manis

Bait tentang ayahku yang datang membawa sarung baru

berkain tipis dan warnanya mudah pudar

2 hari menjelang Idul Fitri...

Atau bait tentang baju koko hitam yang dibelikan ibu

dengan uang hasil menjual ayam

yang diberikannya padaku dengan senyuman hangat sambil berkata.

”Mirip bajunya Pasha Ungu.”..

Ada pula bait-bait pendek

Tentang kristal bening di pelupuk mata ayahku

saat kuhadiahkan sekotak korek api di ulang tahunnya

karena kutahu hobinya membersihkan kotoran kuping dengn batang korek...

Dan tentang tawa gembira adikku yang berubah menjadi tangis

melihat sepatu baru yang dibelinya 2 hari yang lalu di pasar

terkelupas warnanya...

Bait-bait itulah yang kini menggema di langit...

Menjadi lagu favorit para malaikat di negeri awan..

Menghadirkan rasa iri di hati mereka..

Atas segala kemuliaan makhluk yang bernama manusia...

Kertas ini tak hanya merangkum kisah-kisah miris

atau bait-bait manis

Dalam tiap barisnya. Dalam setiap huruf

yang tercetak di dalamnya...

Disini pula kusimpan harapan-harapan

impian-impian bapak dan ibu

yang kudengar dalam sujud-sujud mereka di tengah malam

atau saat mereka mengigau dalam tidur yang pendek...

Harapan itu sama seperti harapan seekor kangguru

saat menggendong anaknya dalam kantung hangat...

Impian itu adalah impian danau-danau

yang mengirimkan aliran air ke samudera luas...

Impian dari kerut-kerut wajah bapak

yang seakan berkata,

”Jadilah pohon yang besar dalam hidupmu

dengan batang yang tegak menjulang

dan daun yang rimbun untuk menyejukkan bumi...

jangan jadi benalu kerdil yang menggerogoti pohon lain

menghisap belas kasih di batang-batang dan ranting-ranting

hingga layu...”

Harapan dari mata lelah ibu

yang berbinar dalam gelap

menyinari jalan-jalan yang harus kupilih

sejauh apapun aku berjalan

menemani langkah-langkahku saat terasa berat

atau saat ku melambung tinggi

sembari membisikkan petuah yang terejawantahkan,

”Melompatlah setinggi kau mau

terbanglah mengikuti angin yang bertiup

bergantunglah pada bintang-bintang

berdirilah di atas puncak Himalaya..

Untuk dirimu sendiri..

Karena kami hanyalah batu untuk kau pijak sebelum melompat

hanyalah tali untukmu bergantung saat kau terperosok...”


Maka, dengan semua itulah...

Dengan air sejuk... Dengan syair-syair kehidupan...

Dengan harapan-harapan dan impian-impian...

Tuhan merestui ruhku menjelajah di bumi ini...

Sebagai manusia yang mulai tumbuh dewasa...

yang mulai mencari hakikat dan tujuan hidupnya…

Sebagai tunas yang mulai beranjak tinggi...

Mencoba bertahan di tengah badai yang menghancurkan...

Mencoba meraih awan dengan ujung-ujung ranting dan daun-daun...

Hingga suatu ketika yang tak lagi diragukan...

Kala malaikat turun membawa kebijaksanaan Tuhan yang lainnya...

Kamis, 10 Maret 2011

MAT RO'I

Mat Ro’i belum bangun dari tidurnya, meski matahari sudah merangkak ke titik 90 derajat. Ayam-ayam di Desa Martajasah juga sudah lelah berkokok, menutup catatan pagi mereka dengan embel-embel “GAGAL MEMBANGUNKAN MAT RO’I”. Ya, mungkin hanya Mat Ro’i yang belum bangun pagi itu, selain Pak Marwan yang memang sudah lama lumpuh dan tidak bisa bangun lagi. Sementara warga lainnya sudah memulai aktivitas harian mereka bahkan sebelum Adzan Subuh berkumandang dari menara Masjid Syaichona Kholil.

Bagi Kota Bangkalan, setiap perputaran jam berarti juga pergantian aktor. Bila jam menunjukkan pukul 04.00, para pedagang dan penjaga masjid memulai lakon mereka. Dilanjutkan ibu-ibu yang pergi belanja satu jam setelahnya. Pukul 06.00 dan 07.00 adalah scene untuk para pelajar berseragam rapi pergi sekolah mengayuh sepeda. Sedangkan Mat Ro’i..?! Scene-nya nanti, setelah Sholat Dluhur.

Bangun siang, rejeki dicaplok ayam. Itu adalah kata-kata mutiara milik Bu Jamilah, ibu Mat Ro’i, jika sepulangnya dari pasar masih melihat Mat Ro’i memeluk guling kesayangannya di atas dipan. Sudah bertahun-tahun sejak anaknya berusia wajib menunaikan shalat, Bu Jamilah selalu marah-marah di pagi hari melihat kelakuan anaknya. Untungnya Bu Jamilah kreatif. Struktur dan pola omelannya tidak pernah sama dari hari ke hari. Terbukti Mat Ro’i tidak pernah bosan mendengarnya.

“Kalau ayahmu masih hidup, pasti dia memukulmu dengan gagang sapu..!!” omel bu Jamilah. Entah Mat Ro’i mendengar atau tidak, yang pasti dia tidak bergeming sama sekali.

Sebenarnya Mat Ro’i bukannya bermalas-malasan seharian penuh. Dia juga beraktivitas seperti orang-orang lain. Hanya saja dia terlambat melakukannya 7 – 8 jam. Jika orang-orang biasanya bangun pukul 04.30, Mat Ro’i baru berhenti menguap pukul 12.30. Jika kebanyakan orang sarapan pukul 06.00, maka dia baru sarapan pukul 13.00. Dan seperti itu sehari-hari.

Satu lagi keanehan Mat Ro’i. Setiap pukul 15.30, dia akan mengenakan baju training hijau tuanya, lalu lari berkeliling desa. “Lari pagi”, jawabnya saat ditanya oleh Pak RT. Kebiasaan Mat Ro’i ini mengundang tawa geli dari tetangga-tetangganya, apalagi Mat Ro’i melakukannya hampir setiap hari. Hanya pada pertengahan bulan saja, Mat Ro’i tidak melakukannya. Pada tanggal 15 dan 16 setiap bulan, Mat Ro’i selalu menghilang dari desa. Tidak ada yang tahu kemana, termasuk Bu Jamilah.

***

Mat Ro’i benar-benar selebriti di desanya. Di pasar, di gardu ronda, hingga di masjid nama Mat Ro’i seakan-akan tak pernah absen. Padahal ketiga tempat itu tak pernah disinggahinya dua tahun terakhir ini.

“Kalau kuhitung-hitung, usianya sudah 23 tahun lho pak, seusia anakku Parti,” kata Pak Su’eb sambil bersila di teras masjid. Pak Agus yang diajak ngobrol masih repot dengan sarungnya yang sedikit melorot.

“Sudah usia menikah lho. Tapi kok santai sekali ya anaknya, seperti tidak punya beban buat mencari kerja terus menikah gitu,” sahut Pak Fathor yang namanya dirubah Pak Pa’ong, mengikuti kebiasaan orang Madura yang suka memanggil nama dengan simpel.

“Anak kayak dia mau kerja apa sih pak..?! Lulusan STM jurusan Kimia, disuruh mengarit saja tidak bisa, masih pemalas gitu,” jawab Pak Su’eb.

“Kasian sekali bu Jamilah. Sudah Cuma punya anak satu orang, kelakuannya gitu,” timpal Pak Pa’ong. “Kalau sudah lihat si Mat Ro’i lari pagi, bikin ketawa aja,hahaha,” lanjutnya sambil tertawa.

“Si Nur juga bilang Mat Ro’i orangnya Madesu, masa depan suram,” tambah Pak Su’eb, sambil tertawa. Melihat kedua kawannya tertawa, Pak Agus seperti ingin berkata sesuatu.

“Tapi bapak-bapak, saya heran dengan si Mat Ro’i. Kan dia tidak pernah kerja gitu, Cuma lari pagi tiap hari. Tapi kok Bu Jamilah bilang dia selalu dapat uang dari Mat Ro’i, sebulan bisa sampai 2 juta rupiah. Lha, dapat mana tuh anak uang banyak seperti itu?” kata pak Agus, menghentikan tawa kedua temannya.

“Ah, yang bener pak..?! Bu Jamilah ngomong gitu..??” tanya Pak Pa’ong, tidak percaya.

“Demi Allah.. Nanti kalau ketemu tanya saja sendiri.” Jawab Pak Agus.

“Anak saya saja, Tutik, sudah jadi honorer di Pemda, tiap bulan Cuma digaji 400ribu. Berangkat kantor dari pagi pulang sore. Memangnya si mat Ro’i itu kerja gimana..? Lha wong hidupnya Cuma buat lari pagi tiap sore gitu.” Pak Pa’ong masih tidak percaya.

“Itu saya nggak tau pak. Bu Jamilah juga heran kok, darimana si Mat dapat duit banyak gitu.”

“Artinya Bu Jamilah nggak pakai modal donk buat nyariin si Mat kerjaan. Waduh waduh, saya aja buat masukin Tutik ke Pemda harus bayar 20juta dulu ke Pak Bupati. Belum lagi kalau si Tutik masuk data base dan pemberkasan, harus nambah lagi.”

“Jangan-jangan si Mat itu kerjanya malam pak.” Potong Pak Su’eb.

“Kerja malam gimana..?” tanya Pak Agus.

“Ya kerjanya malam. Buktinya dia baru bangun tengah hari, gak mungkin ah kalau malamnya dia gak keluyuran.”

“Maksud Pak Su’eb, Mat Ro’i jadi maling gitu..?!” Pak Pa’ong meminta penjelasan.

“Bisa jadi. Darimana Mat dapat uang banyak tapi gak kerja..?”

Ketiganya terdiam. Tenggelam dalam hipotesa Pak Su’eb. Ada benarnya juga Pak Su’eb. Apalagi memang Si Mat Ro’i selalu bangun siang, tidak pernah ikut ronda apalagi ke masjid. Sementara Pak Su’eb mengangguk-anggukkan kepalanya, Pak Pa’ong dan Pak Agus menelan ludah.

“Lebih baik kita khusnudzon saja dulu,” kata Pak Pa’ong, setengah menenangkan dirinya sendiri.

“Nggak bisa, Mat Ro’i sudah pasti nyolong buat dapat uang,” jawab Pak Su’eb.

“Sebentar Pak, tapi kalau saya ingat-ingat, memang ada dua kali kemalingan bulan ini. Bu Jati kehilangan duit di laci mejanya di pasar, katanya sekitar satu juta lima ratus gitu. Terus anaknya Mas Gatot tukang bakso juga sepedanya diambil orang. Kalo orangnya Mat Ro’i, bisa jadi. Lha rumahnya Mas Gatot kan di gangnya Mat Ro’i.” Ujar pak Agus, sambil menghitung-hitung dengan jarinya.

“Kalau sepedanya diuangkan, ditambah uangnya Bu Jati, nyampe dua juta gitu memang.”

“Nah, pas kan. Memang Mat Ro’i orangnya.”

“Tapi kan belum tentu juga. Bisa aja yang ngambil salah satu dari puluhan pengemis di depan Masjid Kyai Kholil itu. Kan orang kalau kepepet bisa ngapain aja.” Pak Pa’ong terus berusaha khusnudzon.

“Tapi pengemis itu uangnya banyak lho Pak, sehari bisa dapat 50 – 100 ribu. Kan itu cukup sekali. Apalagi Masjid Kyai Kholil ini kan banyak pengunjungnya.” Sanggah Pak Agus.

“Iya, gak mungkin pengemis. Pasti si Mat Ro’i ini yang ngambil.”

“Gak tau ya. Saya pulang aja, nanti dicari istri saya.” Ujar Pak Pa’ong, meninggalkan kedua temannya yang terus berdiskusi tentang Mat Ro’i.

***

Senin malam Selasa, warga Desa Mertajasah dikejutkan dengan penangkapan maling di halaman rumah Bu Jamilah. Pak Su’eb yang hari itu kebetulan giliran jaga ronda, memegang tengkuk si maling yang mengenakan penutup wajah kain. Meskipun warga sudah banyak berdatangan, sepertinya Pak Su’eb masih enggan menarik penutup muka si maling.

Kemudian Bu Jamilah keluar rumah tergopoh-gopoh, dia mendengar kabar ada maling ditangkap dari teriakan orang-orang kampung di depan rumahnya.

“Tunggu satu orang lagi, baru kita buka topengnya.” Kata Pak Su’eb. Disampingnya Pak Agus mengangguk-angguk setuju.

Akhirnya yang ditunggu hadir juga, siapa lagi kalau bukan : Pak Pa’ong.

“Sekarang saya buka topengnya. Jangan kaget kalau dia adalah...” ujar Pak Su’eb memberi sambutan singkatnya sambil membuka topeng si maling.

Begitu topeng dibuka, betapa kaget orang-orang melihatnya. Bu Jamilah menutup matanya. Pak Pa’ong langsung terhenyak,

“ASRUL..!!!”

Bukan main kagetnya Pak Su’eb, melihat ternyata maling yang ditangkapnya bukan Mat Ro’i, melainkan Asrul, putra Pak RW yang memiliki bengkel di dekat masjid. Padahal dia sudah sangat yakin bahwa maling itu adalah Mat Ro’i, apalagi saat akan ditangkap maling itu kabur ke halaman rumah Bu Jamilah.

***

“Jadi malingnya bukan Mat Ro’i ya.” Ujar Pak Pa’ong, membuka pembicaraan di teras masjid. Saat itu dia sedang bersama Pak Su’eb, Pak Agus, dan Pak Marsudi. Pak Su’eb dan Pak Agus diam saja.

“Iya. Saya nggak ngira kalau ternyata si Asrul malingnya. Dan dia ngaku juga kalau dia yang ngambil duit Bu Jati dan sepeda anaknya Mas Gatot.” Jawab Pak Mar.

“Padahal dari semua pemuda, kayaknya dia yang paling sukses ya. Lulusan kuliahan kan, jurusan Hukum. Tapi juga punya bengkel. Untung saya belum bilang ke ayahnya buat ngejodohin si Asrul dengan si Tutik. Kalau nggak, wah malu saya punya mantu kayak dia.” Lanjut Pak Pa’ong.

“Dulu saya kira malingnya si Mat Ro’i. Kan saya pikir kalau dia siangnya tidur terus, malam pasti kerja. Eh ternyata saya salah.” Kata Pak Su’eb, yang nama KTP nya adalah Muhammad Syuaib.

“Ternyata si Mat itu paginya tidur, malam juga tidur..hahaha,” Pak Mar tertawa geli.

Pak Agus juga ikut angkat bicara, “Parahnya, ternyata tidurnya susah bangun. Kita udah teriak-teriak di depan rumahnya, orang satu desa sudah ngumpul, eh dia malah masih di Perancis,” dilanjutkan gelak tawa yang panjang.

“Hahaha, iya. Saya memang dari awal tidak percaya kalau Mat Ro’i maling. Kan bu Jamilah selalu mendidik dia dengan keras. Lebih baik lapar daripada dapat duit nggak halal.” Ujar Pak Pa’ong.

“Nah, pertanyaannya, sebenarnya Mat Ro’i itu kerja apa..? kemarin saya tanya lagi ke Bu Jamilah,ternyata Mat Ro’i ngasih duitnya rutin, malah akhir-akhir ini nambah jadi hampir tiga juta tiap ngasih.” Ujar Pak Agus, sambil mengernyitkan dahi.

“Kerja THL nggak mungkin, kerja sawah apalagi.”

“Pak Agus, memangnya Bu Jamilah masih belum tahu ya si Mat kerja apa..?” tanya Pak Su’eb.

“Kemaren Bu Jamilah cerita, katanya setiap ditanya dapat uang darimana, si Mat bilangnya dapat dari masjid.” Jawab Pak Agus.

“Lho, memangnya si Mat takmir masjid ya..? Bukan kan..?!! Dan lagi, nggak mungkin masjid ngasih uang segitu banyaknya ke takmir. Apalagi takmir malas kayak si Mat” jawab Pak Su’eb. Pak Pa’ong mengangguk setuju.

“Lebih baik kita tanya langsung aja sama orangnya.” Usul Pak Mar. Ketiga temannya setuju.

Akhirnya mereka berempat bergegas ke rumah Bu Jamilah, melewati beberapa orang pengemis yang menadahkan mangkok di depan masjid Kyai Kholil. Sementara empat bis penuh peziarah kembali datang. Membawa rezeki berlimpah untuk para pengemis.

***

Mat Ro’i masih mengucek-ngucek matanya, saat empat orang bersarung dan berkopiah datang ke rumahnya. Mat Ro’i tidak bisa tidak harus melayani tamu-tamunya, apalagi mereka memang datang untuk bertemu dirinya.

Pak Pa’ong membuka percakapan,

“Mohon maaf sekali nak Mat, karena kami mengganggu tidur paginya...”Pak Pa’ong melirik jam dinding, pukul 13.30WIB.

“Sebenarnya sudah lama sekali kami menaruh perhatian pada sampeyan. Mohon maaf sebelumnya, karena kami ingin menanyakan sebuah pertanyaan langsung kepada sampeyan, daripada terus-terusan menggunjing di belakang. Kata Kyai Fuad, cucu Kyai Kholil, gosip atau gibah itu hukumnya dosa.”

Mat Ro’i mendengarkan sambil terus menguap.

“Karena kami tidak ingin dosa terus menerus, maka kami ingin tanya. Sebenarnya sampeyan pekerjaannya apa..? Koq sangat nyantai, tapi tiap bulan bisa ngasih duit lebih dari dua juta ke Bu Jamilah.”

Mat Ro’i tersenyum.

“Saya kerja halal kok pak.” Jawab Mat Ro’i singkat.

“Maksudnya gimana..?” tanya Pak Parman.

“Saya memiliki pekerjaan sendiri.”

“Kerja Pemda..?” Pak Pa’ong mencoba menebak.

“Tidak, pak. Saya tidak mau masuk Pemda, karena harus bangun pagi.”

“Ikut Cina..?” tanya Pak Su’eb. Ikut Cina adalah frase yang digunakan oleh orang madura untuk menggambarkan seseorang yang bekerja sebagai pelayan di Pecinan.

“Ahh, saya nggak suka kerja buat Cina. Menguntungkan orang Cina. Mendingan saya ngebantu orang-orang pribumi nyari kerja.” Jawab Mat Ro’i.

“Pokoknya bapak-bapak, saya dapat uang dari sumber halal. Saya dapat dari rumah Allah, yaitu masjid. Karomah dari Kyai Kholil juga yang membuat saya bisa mengumpulkan uang banyak. Cukup itu saja yang bisa saya jelaskan, karena saya ingin mandi dan makan. Nanti sore saya mau jalan pagi.” Pungkas Mat Ro’i.

Mendengar nama Kyai Kholil juga dibawa-bawa, akhirnya keempat bapak tersebut meyakini bahwa Mat Ro’i adalah orang yang mendapat cipratan rejeki dari karomah Kyai Kholil. Apa itu..? Mereka enggan menebaknya, karena karomah Kyai Kholil bisa menerpa siapa saja, dimana saja, dan kapan saja, termasuk si pemuda pemalas itu.

Akhirnya mereka undur diri dengan perasaan lega karena Mat Ro’i bukan seorang penjahat, apapun itu pekerjaannya.

Sementara Mat Ro’i tersenyum puas. Hingga saat ini, belum ada seorang warga desa pun yang tahu bahwa dia adalah koordinator para pengemis di masjid Kyai Kholil. Karomah Kyai Kholil yang dipercayai orang banyak, menjadikan ratusan peziarah selalu datang setiap harinya.

Dia melihat situasi itu sebagai kesempatan untuk mengajak para Fakir Miskin di kecamatan lain di Bangkalan untuk menjadi pengemis di masjid. Untuk itu, setiap hari dia hanya meminta upah 20.000 rupiah dari para pengemis yang diajaknya. Jumlah yang tidak banyak jika dibandingkan dengan pendapatan para pengemis setiap harinya. Dan setiap sore saat dia jalan pagi, adalah jadwalnya untuk menerima iuran sukarela dari para pengemis itu.

Mat Ro’i merahasiakan pekerjaannya bukan tanpa alasan. Dia sangat paham karakter orang Madura, yang suka meniru pekerjaan seseorang yang sukses. Dan dia takut, jika banyak orang yang tahu pekerjaannya, akan banyak bermunculan koordinator-koordinator pengemis baru, dan itu berarti Masjid Kyai Kholil akan sesak dengan pengemis.

Ya.., memang tidak pernah ada korelasi antara sifat rajin dan rejeki. Keduanya berdiri sendiri, tidak saling mempengaruhi.

Dan Kau Masih Tak Tertebak

Semakin tinggi dan tinggi tempat berpijak,
akankah ku temukan Kau..?
Sedangkan pada mereka yang juga semakin tinggi,
Kau seakan menghardik dan memusuhi..
Semakin rendah dan rendah aku membungkuk,
akankah ku temukan kau..?
Sedangkan pada mereka yang juga menunduk,
kau tapakkan kaki-Mu tuk benamkan mereka..
Lantas dengan bagaimanakah ku temukan Kau..?
Dan kau masih tak tertebak...

Mereka yang percaya Kau berdiam di atas,
tak Kau tepis namun kau abaikan..
Mereka yang mencari-Mu ke dalam bumi,
tak Kau hentikan namun kau acuhkan..
Lantas dimanakah kau bersinggasana..?
Dan Kau masih tak tertebak...

Mereka adalah orang yang kemarin berkata
bahwa Kau hidup di dalam keyakinan..
Namun mereka juga orang yang hari ini membunuh
hanya karena perbedaan jalan..
Jalan mencarimu...
Dan Kau masih tak tertebak...