Jumat, 08 Juni 2012

MENCARI ZUBAEDAH


“Cari Zubaedah !!”

Mungkin hingga detik ini aku bernafas, tak ada perintah yang terasa sangat berat untuk kulaksanakan, kecuali mencari Zubaedah.

Harus kemana kucari Zubaedah? Selama ini aku hanya bertemu dengannya selepas maghrib, berjalan ke arah kota. Atau ketika dia pulang menjelang Subuh ketika aku baru berniat memejamkan mata di pos ronda.

Lalu, harus kemana kucari Zubaedah? Tempat mangkalnya pun aku tak tahu. Apakah di wisma-wisma pinggir jalan yang lampunya redup, atau di antara nisan-nisan makam Cina di timur sana. Atau mungkin di tempat yang lain. Aku tak tahu.

Bahkan semisal aku dapat menemukannya, apa yang harus kulakukan disana? Bisa jadi aku dihajar para pelanggannya jika memaksa bertemu dengan Zubaedah. Ahh, entahlah.

Yang penting, saat ini aku berlari. Demi mencari Zubaedah, demi menyampaikan sebuah pesan : Minto, anak lelaki satu-satunya, telah meninggal tepat Adzan Isya’ berkumandang tadi.

Aku masih berlari, tak tahu arah yang kutuju, yang pasti ke ujung desa sana. Di sana ada perempatan, baru aku akan memilih jalan. Apakah ke kanan, ke kiri, atau lurus saja. Sementara udara jam setengah delapan ini sudah mulai dingin, bahkan sarung yang ku selempangkan di pundak tak dapat menahan hawanya. Entah bagaimana caranya, Zubaedah tidak pernah jatuh sakit walau berjam-jam di luar dengan pakaian minim.

***

Kisah Zubaedah, janda muda yang jadi pelacur, mungkin salah satu kisah termiris yang pernah ku ketahui. Zubaedah muda adalah gadis desa yang sangat taat beribadah, penampilannya kalem dan lembut. Jangan tanya wajahnya, hampir semua lelaki di kampung tak dapat memalingkan mata jika melihat Zubaedah berjalan di pagi hari mencuci baju di sungai.

Zubaedah tinggal sendiri, orang tuanya sudah meninggal saat usianya 15 tahun. Beruntung, kakaknya yang sakit-sakitan masih sempat menikahkan Zubaedah  tiga bulan sebelum dia meninggal. Lelaki beruntung yang menikahi Zubaedah adalah Pariyo, sopir bus malam antar provinsi. Zubaedah dinikahkan pada usia 16 tahun, dan langsung hamil sebulan setelah menikah. Namun malang tak bisa ditebak, si suami ternyata punya hobi nyeleneh : senang kawin. Lelaki itu tak lagi tak pulang setelah menikah beberapa bulan, hingga kehamilan Zubaedah mendekati persalinan. Kabar burung, dia menikah lagi dengan gadis asal Karawang. Akhirnya Zubaedah melahirkan didampingi Mak Sun. Hanya Mak Sun, karena suaminya sudah tak ada kabar.

Zubaedah kemudian bertekad membesarkan anaknya seorang diri. Tapi apa daya, yang tersisa di rumahnya hanya beberapa gram emas peninggalan emaknya, dan beberapa barang perabotan rumah tangga. Berselang bulan, semua itu sudah berpindah tangan.

Menyadari hartanya menipis, Zubaedah mulai mencari pekerjaan. Dimulainya dari menjadi buruh cuci di beberapa rumah tetangga. Namun hampir semuanya hanya berlangsung sebulan dua bulan saja, karena ibu-ibu tetangga cemburu melihat suaminya memelototi tubuh Zubaedah. Akhirnya Zubaedah harus mencari pekerjaan lain untuk menghidupi anaknya yang saat itu masih berumur 16 bulan.

Pekerjaan berikutnya, Zubaedah menjadi pelayan toko Haji Makki. Namun dia keluar setelah beberapa minggu disana. Ternyata putra Haji Makki, Aryo, sering tak tahan melihat Zubaedah sendiri di toko. Demi menjaga kehormatannya dan nama baik keluarga Haji Makki, Zubaedah memilih mengundurkan diri.

Pak RT yang kasihan pada nasib Zubaedah, kemudian mengumpulkan warga mencarikan jalan keluar untuk itu. Akhirnya warga sepakat mendaftarkan Zubaedah pada Kasmoyo, kerabat jauh Pak Hanif yang katanya bisa memberangkatkan Zubaedah menjadi TKW di Hongkong. Warga juga sepakat urunan membantu membayar biaya pendaftaran Zubaedah menjadi calon TKW.

Tapi berbulan-bulan setelah uang pendaftaran diterima Kasmoyo, ternyata Zubaedah tak juga berangkat ke Hongkong. Warga yang marah-marah lalu minta pertanggungjawaban Pak Hanif. Namun tetap tak ada kejelasan, hingga akhirnya ketika perhatian warga kembali tertuju pada Zubaedah, dia telah terlilit hutang cukup besar pada rentenir!

Jadilah Zubaedah pengangguran yang terlilit hutang, sementara anaknya, Minto, mulai tumbuh kekurangan gizi. Parahnya, semakin lama warga semakin tidak peduli pada Zubaedah, karena Pak RT yang selama ini memberi kepedulian lebih telah meninggal karena stroke.

Menyadari kondisi dan kebutuhannya, Zubaedah yang masih berumur 20 tahun kemudian mengambil keputusan penting : menjadi pelacur. Dan itulah yang dilakukan Zubaedah selama tiga tahun ini. Dari hasilnya sepertinya lumayan, karena dia bisa menyekolahkan Minto yang memang sudah usia masuk sekolah.

Warga bukannya tak tahu dengan pekerjaan Zubaedah, namun selama dia tidak mangkal di kampung atau melayani orang-orang kampung, warga merasa tidak keberatan. Toh, mereka juga mengerti bahwa tidak ada pilihan lain bagi Zubaedah.

***

Dan kini, aku sudah sampai di ujung kampung. Aku bimbang memilih ke arah manakah aku harus mencari Zubaedah. Kakiku gemetaran, bukan karena dingin, tapi karena memikirkan nasib Zubaedah yang sangat malang. Dia yang rela menjual dirinya untuk membesarkan putranya, melakukan apapun demi putranya, kini harus kehilangan harta terbesar dalam hidupnya.

Aku berdiri diam di tengah perempatan. Mendongak ke atas, melihat ribuan bintang-bintang di langit, tempat yang kupercaya sebagai tahta Tuhan. Aku menangis getir, karena aku yakin, bahkan adalah Tuhan yang membuat hidup Zubaedah sedemikian malangnya. Aku tahu bahwa Tuhan lah yang menyusun sebuah skenario hidup untuk Zubaedah, seorang gadis kembang desa yang menjadi pelacur. Namun aku ingin sekali bertanya, apa yang akan didapat Zubaedah dari skenario hidupnya yang seperti ini?

Jika aku mengikuti kata-kata pada Habib Arab di televisi tentang pelacuran, Zubaedah memang wajib masuk neraka. Tapi kenapa? Kenapa Tuhan tak memberikan Zubaedah hidup yang layak, suami yang baik dan sholeh, atau rejeki yang melimpah agar Zubaedah tak terjerumus dalam lembah hitam? Kenapa Tuhan menggariskan hidup Zubaedah seperti ini?

Bukankah Tuhan Maha Adil, tapi kenapa tak adil pada hidup Zubaedah? Kenapa hidup Zubaedah tak seperti Bu Sopiah yang janda tapi kaya raya? Kenapa harus begini hidup Zubaedah?

Aku sudah sangat lama mengerti bahwa Tuhan mengerti hingga setiap kata yang diucapkan hambanya dalam hati. Aku juga sudah lama diajarkan bahwa Tuhan mengatur setiap kejadian, bahkan sebatang ranting jatuh pun diketahui-Nya. Tapi mengapa Tuhan tak mendengar tangis dan ratapan Zubaedah tentang hidupnya? Mengapa Tuhan membiarkan Zubaedah yang kukenal taat beribadah terdera, tubuhnya disentuh puluhan atau bahkan ratusan lelaki hidung belang? Dan apa yang akan didapat Zubaedah dari hidupnya ini?

Aku terengah-engah mempertanyakan keputusan Tuhan akan hidup Zubaedah. Tapi apa mau dikata, keputusan Tuhan memang untuk dijalani, bukan dipertanyakan. Aku menyerah, Tuhan. Aku menyerah pada segala keputusanmu.

Akhirnya, aku tak kuasa berdiri lagi. Tubuhku mulai limbung. Aku sadar, aku akan pingsan disini. Aku akan pingsan di tengah perempatan ini.

***

Tepat sepuluh hari setelah pemakaman Minto, aku mendengar kabar Zubaedah mati bunuh diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar