Sabtu, 14 April 2012

Tentang mereka yang masih mau belajar

Dua orang itu datang ke kantor Kursus Bahasa Inggris kami, Super Smart Study Center, berharap bisa mengikuti proses pembelajaran Bahasa Inggris. Tentu saja kami terperangah. Dua orang itu bernama Pak Arifin dan Pak Munadi. Mereka sudah seusia ayah-ayah kami, setidaknya usia mereka sudah menginjak 40 tahunan. Namun semangat mereka untuk ikut belajar masih menggebu-gebu. Entah apa tujuannya, yang pasti keinginan mereka berhasil membuat kami luluh.

Namun masalah langsung muncul. Tentu tentang kelas mereka. Kami sudah memiliki beberapa kelas Bahasa Inggris terdiri dari beragam usia. Ada yang SD, ada yang SMP, dan ada yang untuk SMA. Namun belum pernah kami membuka kelas untuk usia di atas 30 tahun. Ide untuk menggabungkan kelas bapak-bapak itu dengan kelas SMA kami urungkan, karena kemampuan Bahasa Inggris mereka bisa dibilang pemula sekali, sedangkan rata-rata siswa kelas SMA kami sudah mampu melakukan English Debate.

Memang jalan keluar yang ada hanyalah memasukkan Pak Munadi dan Pak Arifin ke kelas privat. Dengan jumlah siswa yang tidak sebanyak kelas reguler (hanya mereka berdua), pasti mereka dapat belajar dengan lebih intensif. Namun, karena keistimewaan kelas privat ini, harga untuk setiap pertemuan membuatnya jauh lebih mahal daripada kelas reguler.

Inilah yang menjadi masalah berikutnya. Pak Arifin dan Pak Munadi bukanlah bagian dari masyarakat atas maupun menengah. Menengah bawah, itu mungkin kualifikasi mereka. Dan menjangkau harga kelas privat tentu memberatkan mereka, yang juga harus menghidupi keluarga mereka. Pak Munadi hanyalah seorang makelar kecil-kecilan, dan Pak Arifin tidak lebih baik, hanya seorang pengamen yang kadang ikut orkes.

Akhirnya, setelah berdiskusi sebentar dengan Adhy, rekan pengelola di tempat kursus, kami sepakat untuk memberi harga seminimal mungkin untuk bapak berdua itu. 50% potongan, yang penting mereka mau belajar dengan semangat. Ditambah satu syarat, yaitu mengajak 1 orang teman lagi. Jadi setidaknya, biaya kursus mereka setiap pertemuan sudah dapat membayar insentif mentor. Bahkan mereka kami beri keringanan untuk membayar biaya pendaftaran di belakang. Entah kapan, kami sama sekali tak mengharapkannya.

Beberapa hari kemudian, mereka datang lagi untuk memulai kelas pertama. Dinda, sang mentor juga sudah siap memberi materi pengenalan Bahasa Inggris. Yang cukup menggelikan adalah mereka malam itu hadir dengan pakaian rapi, berkemeja dan bersepatu kulit. Hingga saat ini pun selalu seperti itu. Mereka sepertinya benar-benar ingin menghargai pengalaman demi pengalaman yang akan mereka dapatkan disini.

Kelas sudah disiapkan, spidol sudah diisi tinta, dan kursi sudah ditata. Mereka pun belajar dibawah bimbingan Dinda. Kami di kantor harap-harap cemas menunggu mereka keluar. 1,5 jam kemudian, Dinda keluar. Kelasnya sudah selesai. Namun Pak Munadi, Pak Arifin, dan Pak Zul (rekan mereka) masih belum keluar. Bahkan hingga Dinda pamit pulang 10 menit kemudian, mereka belum keluar. Saya mengintip ke ruang kelas dari celah jendela, penasaran dengan apa yang mereka lakukan. Mengejutkan. Mereka berdiskusi tentang materi tadi. Bahkan mereka juga mempraktekkan kata demi kata, kalimat demi kalimat yang tertulis di papan tulis.

Saya benar-benar terkesima. Sepanjang hidup saya, belum pernah saya melihat orang-orang yang sebegitu menghargainya terhadap ilmu pengetahuan. Mereka bertahan di kelas, tetap perhatian terhadap papan tulis, dan mengulang kembali pelajaran-pelajaran yang mereka dapatkan baru saja. Saya, dengan mata kepala saya sendiri, melihat Pak Arifin memimpin teman-temannya (kalau boleh mengatakan, mengajari) teman-temannya untuk mengucapkan maupun menghafal setiap kata-kata baru yang mereka dapatkan. Bahkan guru mereka sudah pulang dari tadi!!!

Saya kembali ke kantor, lalu termenung. Saya mengingat-ingat kembali masa-masa belajar saya dulu, baik di kampus maupun di sekolah. Saya menyadari bahwa saya termasuk orang-orang yang sombong, yang bahkan tidak ingin kehilangan 1 menit pun dari waktu santai untuk belajar. Saya dulu adalah anak yang berteriak paling kencang saat bel pulang berdering, atau menirukan suara bel saat waktu pulang kurang tiga menit. Saya mungkin juga mahasiswa yang paling sering melirik jam dinding atau jam di hape untuk memastikan dosen saya tidak melewati waktu selesai kuliah.

Kini saya benar-benar tergugah oleh ketiga bapak itu. Mereka adalah orang-orang yang memuja dan menghargai pelajaran. Bukankah ilmu itu adalah kalimat Tuhan, dan ilmu juga adalah nama Tuhan. Kenapa saya selama ini justru membiarkan diri saya pelit waktu terhadap Tuhan?

Akhirnya saya ingin menyadari bahwa ketiga bapak itu sesungguhnya adalah guru saya, guru untuk memuja Tuhan lebih dalam lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar