Kamis, 21 April 2011

Sebuah Hasil Pikir-Pikir

BELAJAR DENGAN HATI

(REKONSTRUKSI SISTEM PENGAJARAN MATERIALISTIS DI INDONESIA)

25 tahun lalu, Deni kecil adalah seorang bocah laki-laki yang ceria, penuh semangat, dan aktif. Rasa ingin tahunya selalu membuncah, melucuti identitas semua benda yang diliriknya. Cita-citanya sungguh mulia : Menjadi dokter. Alasannya adalah agar bisa menolong orang sakit, kaya atau miskin. Orang tuanya sangat bangga padanya.

Namun kini, Deni yang sudah berusia 30 tahun, adalah seorang pribadi tegas dan sukses. Cita-citanya untuk menjadi dokter tercapai, namun tidak dengan alasannya. Dia adalah seorang dokter yang berorientasi pada uang. Dia tidak ragu untuk mencantumkan biaya yang sangat mahal untuk praktiknya, dan tidak segan mengusir pasien yang celananya lusuh tanda tak mampu. Untunglah Deni sangat cerdas, setidaknya orang-orang kaya masih memilihnya menjadi dokter andalan. Tapi masalahnya bukan pada siapa pasiennya. Masalahnya adalah ada apa dengan Deni..? Apakah yang membuatnya menjadi seorang profit oriented..?

Yang terjadi pada Deni bukanlah fenomena langka. Itu malah boleh disebut sebagai mindset orang sukses kebanyakan. Mereka yang beranjak remaja dengan cita-cita mulia, lalu tumbuh dewasa sebagai sosok yang oportunis dan melupakan betapa mulia jalan pikiran mereka masa kecil. Dan untuk pendapat itu, mereka akan dengan mudah menjawab, “Ahh, dulu kan masih kecil, belum mengerti apa-apa..”.

Jadi, haruskah menjadi tidak mengerti apa-apa hanya untuk menjadi orang mulia..?. Dan, apakah itu juga berarti orang yang mengerti adalah orang yang hidup dari mencekik sesamanya, mengeruk keuntungan berlipat-lipat demi dirinya sendiri..? Hmm, mungkin sudah seharusnya mereka mem-format ulang arti kata-kata di Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Mari kita anggap fenomena itu sebagai sebuah masalah. Jika seorang anak yang belum sekolah bisa sedemikian mulia impiannya, namun menjadi sedemikian gelap perilakunya setelah selesai sekolah, berarti ada yang salah dengan fase sekolah itu. Ahh.., coba kita mem-flashback memori kita menuju bangku SD.

---> guru Matematika : Ayo anak-anak, kita belajar berhitung, jadi nanti kalau menghitung uang gak bingung.

---> guru Pendidikan Djasmani : Berlatihlah setiap hari, dan jadilah atlet seperti Pele yang digaji ratusan juta rupiah.

---> guru Agama : Tiap hari harus sholat, biar rejeki tambah lancar.

---> guru Bahasa Indonesia : Ayo bahasanya diperbaiki, biar bisa jadi artis dan terkenal kayak Meriam Bellina.

Lalu waktu kita SMP,

---> guru Fisika : Kalau kamu bisa menguasai hukum-hukum Fisika, kamu bisa menciptakan sebuah alat dan kamu jual dengan harga yang tinggi, seperti yang dilakukan Thomas Alfa Edison.

---> guru Komputer : Kuasailah bermacam-macam software komputer, dan kamu akan sukses mencari uang dengan mudah.

Dan waktu SMA,

---> guru Bahasa Inggris : Bahasa Inggris adalah bahasa internasional. Kalau kamu bisa berbahasa Inggris, kamu akan mudah dapat kerjaan dengan gaji yang tinggi.

Ada yang aneh..?

Ya. Kenapa guru-guru suka sekali menekankan petuahnya pada kalimat-kalimat berbau uang dan popularitas..?

Tidak diketahui alasannya apa. Tapi yang cukup terlihat adalah, bahwa bapak dan ibu guru berhasil mendidik murid-muridnya untuk belajar giat demi mendapatkan hidup enak, uang banyak, dan terkenal dimana-mana. Dan akhirnya, murid-murid itu berlomba-lomba mencari kesempatan-kesempatan, berlari-lari di bawah roda-roda mindset hidup enak, dan akhirnya tak menyadari bahwa mereka sudah menjadi robot-robot yang disetel sedemikian rupa untuk menjadi penganut materialisme. Mereka bekerja lembur siang malam untuk menghasilkan uang dan uang, demi kenikmatan yang akan mereka nikmati setelah gajian besok. (pertanyaannya: kalau mereka mati sebelum gajian, apa kontrapretasi dari kerja lembur mereka..? Apakah mereka akan menikmati gaji itu..?)

Tak hanya itu.

Pembunuhan karakter juga sangat sering terjadi di dalam kelas. Tak jarang oknum guru memaki murid-muridnya yang tidak bisa mengerjakan soal di papan tulis, atau mendapat nilai buruk saat ulangan.

Ada yang salah dengan itu..?.

Ya, tentu saja. Bayangkan saja seorang murid, yang memang lemah di pelajaran itu, kemudian dihina oleh gurunya, lalu merasa minder dan akhirnya bolos sekolah. Dan guru tidak mau tahu akan itu. Bukankah tugas guru adalah memotivasi mereka. Bukan sebagai orang yang lebih pandai dari mereka, melainkan sebagai orang yang lebih dulu belajar dan bermaksud untuk merangsang mereka untuk belajar. Namun yang terjadi adalah banyak guru yang merasa lebih pandai dari murid-muridnya, lalu membuat standar dalam kelas, dan menghina mereka yang gagal mencapai standar itu.

Memang tidak semua guru seperti itu, dan untuk seterusnya kita akan menyebut para pelaku dengan kata “oknum guru”. Yang pasti, tindakan menghina atau pembunuhan karakter itu sangat tidak tepat. Kebanyakan para pembunuh karakter adalah mereka yang terlalu ingin meniru mind-set orang-orang Barat yang mencoba mengukur semuanya dengan nilai. Namun masalahnya adalah, ketika orang-orang Barat memberi ruang yang luas untuk potensi murid, ternyata para peniru mind-set sangat menutup sempit potensi itu. Mereka membuat seakan-akan hidup ini ditentukan oleh nilai 75 untuk Matematika dan Bahasa Inggris, dan membuat nilai 100 untuk Seni Budaya dan Penjaskes sangat tak berguna.

Kesalahan mind-set para oknum guru kemudian membuat kekacauan terjadi di dalam kelas. Banyak murid yang kemudian mencontek hanya untuk mendapat nilai 90 di ulangan Matematika, atau menyogok sang oknum untuk mendapat bocoran soal Kimia. Kalau sudah seperti itu, apakah standar nilai masih berlaku..?. Lebih parahnya adalah ketika kemudian para oknum guru menggunakan standar nilai untuk mengadakan les tambahan dengan biaya berjuta-juta, yang tidak semua murid akan sanggup membayarnya. Itu akan membuat para murid akan belajar bagaimana menempatkan orang miskin di posisi sulit, dan membantu mereka yang bayar.

Dan yakinlah, permainan standart nilai itulah yang kemudian membuat murid-murid tertekan di kelas dan begitu antusias dengan bel pulang sekolah. Itu pula yang menyebabkan hari terakhir ujian sekolah, atau hari kelulusan adalah hari pelampiasan dari perasaan tertekan mereka di kelas.

Sudah seharusnya para guru membuka lebar perkembangan potensi murid-muridnya. Mereka yang mencintai Matematika, bantu mereka berkembang. Mereka yang mencintai musik, rangkul tangan mereka untuk mengenal nada-nada. Jangan biarkan otak mereka terisi oleh doktrin-doktrin tentang pelajaran mana yang lebih baik dan lebih penting. Biarkan mereka mengikuti minat mereka. Biarkan mereka mendengar isi hati mereka, sebagai langkah awal mereka untuk menjadi berguna bagi masyarakat. Budayakan mereka dengan sistem belajar dengan hati, untuk mendengar isi hati mereka, untuk mendengar apa yang bisa mereka lakukan untuk masyarakat. Ajari mereka bahwa kenikmatan hidup tidak pernah memiliki korelasi dengan uang dan emas. Biarkan mereka menentukan diri mereka sendiri. Justru itulah tujuan tertinggi dari kegiatan mengajar.

Dan hasil akhir dari pendidikan itu adalah sebuah pola pikir tentang kehidupan dengan sudut pandang di luar rotasi uang dan popularitas. Dan disitulah, para pemimpin masa depan tercetak. Para guru masa depan mampu mencetak bibit-bibit yang lebih unggul lagi. Jika semua sudah tercapai, Indonesia akan benar-benar menjadi tanah air beta, bukan Indonesia Tanah Air (Beta).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar