Sabtu, 30 April 2011

KARNA

Karna, dalam bahasa aslinya, memiliki makna yang hampir sama dengan pengorbanan. Dan karena itulah kemudian memainkan perannya dalam Mahabharata sebagai seorang yang memang akan menjadi korban. Seakan takdir telah menjebaknya untuk menjadi ‘tamu’ di antara Pandawa dan Kurawa : tidak pernah menjadi awal, dan pergi sebelum akhir. Dan akhirnya, mau tidak mau, Karna hanya akan menjadi korban, yang tidak pernah mencapai tataran tinggi untuk sangat diperhitungkan oleh sang dalang.

Eksistensi Karna muncul pertama kalinya, saat Pandawa dan Kurawa terlibat dalam adu ketangkasan pangran-pangeran Astina. Kemunculannya adalah tantangan bagi Pandawa, terutama Arjuna, karena pemuda gagah putra sais kereta ini mampu menyaingi ketangkasan Arjuna. Dia hadir sebagai dinding kokoh, yang membendung langkah Arjuna untuk meraih gelar pangeran tertangkas, setidaknya untuk hari itu. Namun, pada awal kemunculannya juga, Karna harus menyadari bahwa dia hanya akan menjadi “seorang yang tak dianggap”. Dia yang hadir ke tengah arena dan menyaingi Arjuna, harus rela dipermalukan hanya karena dia anak seorang sais kereta.

Kisah Mahabharata kemudian membawanya kepada keluarga Kurawa, yang mengangkatnya sebagai saudara, hanya karena Duryudana melihat Karna sebagai seorang yang akan mampu menyaingi Arjuna. Di sisi Kurawa itulah puncak tertinggi yang pernah diraih Karna, seorang anak yang terbuang, seorang murid yang terusir, dan seorang saudara yang tak dikenal.

Karna memang memiliki ketangkasan yang setara dengan Arjuna. Sangat wajar, karena sesungguhnya Karna adalah juga keturunan Dewi Kunti, ibunda para Pandawa. Karna lahir dari keisengan Dewi Kunti yang membaca mantra pemanggil dewa hingga akhirnya Bathara Surya datang dan mengawininya. Karna dilahirkan dengan membawa tanda-tanda ksatria yang menempel di telinganya, sebagai pertanda dia adalah keturunan Bathara Surya. Namun Dewi Kunti, yang tidak mengira keisengannya berakibat fatal, kemudian melarungkan Karna di sungai. Karna bayi, yang bahkan belum mengerti apa-apa, harus terbuang dan tersia-siakan. Akhirnya Karna ditemukan oleh seorang sais kereta yang merawatnya hingga dewasa.

Karna, yang merasa dirinya adalah seorang putra sais kereta, lalu bermaksud menimba ilmu kepada Parasurama, seorang pertapa yang membenci ksatria. Karna tentu saja tak pernah mengerti bahwa dia adalah seorang ksatria sejak lahir, karena kehidupannya adalah kehidupan kaum Sudra. Namun Parasurama dapat mengetahuinya, dan akhirnya Karna terusir dari sang guru hanya karena sebuah identitas yang tak pernah mampu dia singkap. Bahkan sang Guru mengutuknya bahwa dia akan melupakan seluruh ilmu yang telah dikuasainya ketika dia membutuhkan. Dan itu berarti sia-sialah semua proses berlatihnya.

Karna yang terusir dari gurunya lalu memilih untuk pulang ke rumah sang sais kereta. Dia melewati seorang anak yang menangis karena menumpahkan secangkir susu ke tanah. Karna yang bersih hatinya, lalu menggenggam tanah tempat jatuhnya susu itu lalu memerasnya sehingga susu itu kembali ke dalam cangkir. Namun sungguh malang nasib Karna, perbuatannya memancing amarah bumi yang juga berjanji akan memeras tempat Karna berpijak pada hari kematiannya. Jadilah Karna sebagai orang yang juga tertolak oleh Bumi.

Di sisi Kurawa lah, Karna menemukan tempatnya. Para Kurawa menerimanya dengan baik, bahkan menjadikannya seorang pangeran juga, yang berkuasa atas sebuah daerah bernama Angga. Kebaikan hati Kurawa kemudian membuat Karna berjanji membela membela mereka, baik dalam posisi salah ataupun benar. Dan bersama Duryudana (Kurawa tertua) dan Sengkuni (patih Kurawa), Karna menjadi tokoh antagonis yang disebut paling biadab oleh Mahabharata.

Kedekatan Karna dengan Kurawa membawanya terlibat dalam bentrok besar di Padang Khurusetra : Perang Bharatayudha. Dalam perang itulah, kutukan-kutukan yang telah dialamatkan kepada Karna membawa maut hinggap di pundaknya. Karna, yang juga panglima perang Kurawa, terbunuh oleh panah Pasoepati milik Arjuna. Namun itu bukan berarti Arjuna lah yang membunuh Karna. Arjuna hanya menyelesaikan hidup Karna, namun tak pernah bisa mengalahkannya. Kematian Karna dikarenakan dendam bumi kepadanya, sehingga bumi menggenggam roda kereta Karna di dalam lumpur. Karna yang berusaha melepaskan roda keretanya, kemudian sadar bahwa Arjuna telah berdiri di hadapannya. Karna kemudian bermaksud mengeluarkan ilmu yang diperolehnya dari Parasurama, namun kutukan Parasurama menahan ingatan dan kemampuannya. Hingga akhirnya, jadilah Karna bulan-bulanan panah sakti Arjuna, yang berdiri bangga seakan mampu mengalahkan Karna. Namun sekali lagi, Arjuna tidak pernah mengalahkan, dia hanya menyelesaikan.

Dan tumpahlah darah Karna, seorang manusia yang terlahir hanya untuk dikorbankan. Seorang manusia yang bahkan ditolak sejak masih bayi. Seorang manusia yang akhirnya akrab dengan kaum antagonis, hanya karena mereka lebih menerimanya dengan baik. Menjadi kalah atau menang, baik atau jahat, tidaklah pernah mengganggu pikiran Karna. Dia hanya ingin diterima, itu saja.

Karena sejarah ditulis hanya untuk yang bertahan, dan kebaikan hanya digariskan oleh yang menang, maka Karna hanya menjadi tamu sekadar lewat di dalam kisah Mahabharata. Tidak pernah dia memegang kendali besar dalam kisah Mahabharata. Selamanya, dia hanya akan menjadi seseorang yang ada untuk dikorbankan dan dianggap tiada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar