Sabtu, 30 April 2011

PERAN GELAR KYAI DALAM KANCAH POLITIK

Arifinto, anggota DPR RI dari Fraksi-Partai Keadilan Sejahtera yang tertangkap kamera sedang video porno saat sidang paripurna, memang sudah mengundurkan diri dan menyelamatkan diri dan partainya dari hal-hal yang mungkin akan lebih memalukan. PKS dan DPR RI pun sudah memberi komentar terkait kasus Arifianto. Kejadian itu pun sudah sedikit terlupakan oleh rakyat, meski masih menyisakan keraguan : Benarkah seorang anggota legislatif yang terkenal alim dan berasal dari partai besar yang berhaluan islam tertangkap basah melakukan tindakan yang tidak terpuji?.

Terlepas dari ada atau tidaknya konspirasi untuk menjebak Arifinto dan PKS, kejadian ini semakin meruntuhkan kepercayaan rakyat pada wakil-wakilnya di Senayan. Setelah politisi-politisi berhaluan nasionalis kehilangan martabatnya dalam kasus-kasus korupsi atau penyalah gunaan wewenang, rakyat memang melarikan suaranya kepada partai-partai berhaluan agama. Setidaknya para kyai, ustadz, dan alim ulama lebih mengerti halal dan haram. Namun lambat laun, satu per satu dari mereka juga mulai berjatuhan.

Mungkin saja, kejadian-kejadian yang menimpa Arifinto dan politisi-politisi berhaluan agama lainnya adalah sebuah pertanda. Dan sudah seharusnya masyarakat sadar bahwa ada fenomena yang menarik dengan para politisi ulama di kancah politik negara kita, yang dapat ditilik dari berbagai peristiwa politik yang semakin sering terjadi. Salah satunya yang mungkin masih tertinggal di pikiran kita adalah agresi kalangan kyai untuk ikut terjun ke dunia politik pasca runtuhnya Orde Baru.

Ditandai dengan bermunculannya partai-partai berhaluan islam, dimulai dari Gus Dur dengan PKB nya, Zainuddin MZ dengan PBR nya, hingga Solahuddin Wahid dengan PKS nya. Sementara NU dan Muhammadiyah terus menjadi satelit pengawas roda pemerintahan. Para kyai tersebut turun gunung dengan visi yang hampir sama : memperbaiki pemerintahan dengan berpegang pada syariah-syariah agama.

Sementara para ulama besar merangsek ke ranah politik, di ranah dakwah mulai hadir ulama-ulama baru yang sering muncul di acara-acara televisi. Mereka lebih muda, lebih ganteng, dan lebih menjual dari pada kyai-kyai senior. Sebut saja KH Abdullah Gymnastiar atau lebih dikenal Aa’ Gym dengan Manajemen Qolbu nya, Ustadz Jefry dengan image Ustadz Gaul nya, atau Ustadz Yusuf Mansyur dengan Keajaiban Sedekah nya yang mulai menyedot perhatian.

Di ranah politik, para ulama semakin menguasai arena. Tidak hanya di perebutan kursi Senayan atau pada pemilihan Presiden, kyai-kyai di tingkat daerah juga mulai meramaikan pemilihan kepala daerah. Eksistensi para kyai itu didukung oleh tetap tegaknya pesantren-pesantren di daerah, khususnya di kota-kota yang berjuluk Kota Santri. Perbedaannya adalah, bila kyai-kyai di arena politik pusat sangat kuat karena manuver-manuver politiknya, kyai-kyai di daerah lebih kuat lagi karena nama besar dan pengaruhnya yang begitu mengakar di daerah tersebut.

Sedikit bukti pengaruh besar seorang kyai adalah kejadian pembakaran toko-toko milik etnis Cina di kota Bangkalan, Madura, di penghujung berakhirnya Orde Baru. Para pelaku pembakaran adalah pemuda-pemuda bersarung yang mengaku sebagai santri dan diperintahkan oleh kyainya. Kasus pembakaran itu akhirnya hilang dari peredaran tanpa proses hukum yang jelas.

Sangat wajar jika kemudian kyai-kyai di tingkatan daerah memiliki pengaruh yang sangat kuat. Hal itu dikarenakan gelar Kyai adalah gelar yang diberikan kepada ulama yang juga keturunan Kyai besar dan memiliki pondok pesantren. Pengaruh derajat keluarga memainkan peran penting disini, karena masyarakat menghormati seorang keturunan kyai setara dengan kebesaran kyai yang bersangkutan, yang mungkin pernah berjasa besar untuk daerah tersebut.

Gelar Kyai menjadi gelar keturunan yang penting, sama pentingnya dengan gelar pangeran di kalangan kraton. Gelar Kyai seakan menjadi jaminan keberhasilan calon kepala daerah dalam pemilihan. Peran gelar itu sangat terlihat dari banyaknya kyai yang maju sendiri dalam pilkada, atau menjadi jujukan para politisi non-Kyai untuk meminta restu dan dukungan sebelum maju dalam pemilihan. Gelar itu juga lah yang akhirnya membuat masyarakat mengendorkan kontrolnya terhadap jalannya roda pemerintahan, serta membuka pintu selebar-lebarnya untuk pelanggaran dan aksi penyelewengan lainnya.

Kembali menyoroti Kota Bangkalan, salah satu Kota Santri yang kepala daerahnya juga berasal dari kalangan Kyai. Roda pemerintahan berjalan dengan kontrol masyarakat yang kurang, sehingga banyak kasus yang sempat tercium kemudian hilang tanpa ada kejelasan secara hukum. Dimulai dari kasus ijazah palsu sang bupati, kasus jual beli jabatan pemerintahan, hingga kasus penyunatan dana bantuan korban Sampit. Kasus-kasus ini seakan aman dari pengawasan KPK maupun penegak hukum lainnya, sementara masyarakat memilih diam dan menanggapi dengan dingin. Sementara yang bersuara, pasti menemui masalah seperti yang terjadi pada Aliman Haris dan Fachrillah.

Apa yang terjadi di Bangkalan adalah salah satu contoh dari pengaruh buruk gelar Kyai dalam roda pemerintahan. Namun bagaimanapun, gelar keagamaan tetap merupakan sarana termudah untuk mencapai popularitas dan pengaruh di masyarakat. Karena itu juga, nama besar Aa Gym, Uje, dan Yusuf Mansyur tidak bertahan lama. Eksistensi mereka digantikan oleh ustadz-ustadz baru yang lebih eksis di televisi, yang mungkin juga akan segera tergantikan mengingat gelar agama masih memainkan peran penting di ranah politik dan msyarakat Indonesia.

Tentu tidak ada salahnya bila kalangan ulama dan kyai turut hadir juga di ranah politik. Bukankah perbaikan dapat dilakukan oleh siapa saja dan berasal dari kalangan manapun. Hanya saja masyarakat harus lebih menyadari bahwa kalangan kyai dan ulama juga manusia yang tak bebas dari salah dan lupa, sehingga kontrol terhadap pemerintahan tetap harus ditegakkan oleh masyarakat, bahkan oleh santri terhadap kyainya sekalipun. Dengan adanya kontrol ketat itulah, visi dan misi para politisi kyai dan alim ulama dapat semakin nyata penerapannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar