Selasa, 03 Mei 2011

LAMPU MOTOR

Lelaki itu berjalan ke ruanganku, langkahnya tegap dan pasti. Sementara wajahnya menampakkan sebuah keyakinan, entah apa itu. Senyumnya segera muncul saat dia menapakkan kakinya ke ruanganku.

“Selamat pagi, bos..” sapanya, sembari memajang deretan giginya yang rapi dan putih. Dia berjalan mendekat, lalu merebahkan pundaknya di kursi sofa mewah yang baru berusia 2 bulan. Seusia dengan jabatan baruku ini.

Aku tetap dalam posisiku, duduk santai.

“Selamat pagi, kawan lama. Sungguh lucu rasanya ku mendengar kau memanggilku ‘Bos’, sedangkan kau adalah direktur perusahaan besar”, jawabku. Kujulurkan tanganku untuk menyalaminya.

“Bagaimanapun juga, kau adalah bosku. Kau ‘kan ketua para polisi seluruh negeri ini, bukan begitu pak Kapolri ?. Bandingkan dengan aku yang hanya pemimpin perusahaan onderdil sepeda motor..”, pujinya. Kawanku ini memang selalu pandai bermain kata-kata, dan aku benar-benar terbang dibuatnya.

“Hahaha, bisa aja kau ini. Bagaimana kabar kampung halaman ?. Tak pernahkah kau pulang kampung ?” tanyaku.

“Masih sama saja, hanya sedikit diwarnai perkembangan-perkembangan zaman saja. Tampaknya, kota kita itu belum bisa mengikuti perkembangan anak-anaknya yang merantau dan sukses. Ya, seperti kau dan aku ini, hahaha”.

Dia menghidupkan rokok cerutunya, sebelum kembali melanjutkan kata-katanya,

“Seminggu yang lalu aku pulang. Aku bertemu Lusiana, mantan kekasihmu dulu. Ternyata dia melanjutkan kuliah di universitas. Sungguh tak kukira ternyata dia berada di kota yang sama dengan kita.”

“Jadi dia sekolah lagi ?. Ahh, tapi wajar. Sekarang usianya masih 26 tahun.”

“Sungguh kesalahan kau meninggalkannya. Untuk seorang seusiamu, berusia 53 tahun, Lusiana adalah berkah.”

“Ya tentu saja berkah, andai istriku tak mencium perselingkuhanku itu setahun yang lalu.”

“Hahaha, ya sudahlah, setiap permainan selalu ada Game Over-nya, dan kau berakhir mengecewakan. Tapi terlepas dari itu, aku ingin menawarimu sebuah proyek bisnis.”

Aku mengernyitkan dahi. Terus terang, sedikit waspada, karena kawanku ini juga sering menjadi musuh dalam selimut, atau serigala lapar. Otak kotornya sangat kreatif.

“Begini, coba kau mendekat sebentar kemari.”

Aku menggeser dudukku mendekat padanya.

“Kau tahu, kawan, pekerjaanku ini bergantung pada berapa motor yang rusak di Indonesia ini. Semakin langka motor rusak, semakin minim penghasilanku. Tapi kalau banyak pengemudi membutuhkan onderdil motor, wahh, kau bisa kena wangi uangnya kawan.”

“Jadi, kau ingin aku merusak motor-motor yang ada di Indonesia ini ?. bagaimana caranya ?.”, tanyaku. Aku masih heran dengan bisnis ini. Sementara bau-bau kekejaman semakin kental di hidungku.

“Ahh, kau terlalu baik sebagai polisi. Kau jujur. Otakmu tak bisa mencium kesempatan-kesempatan emas.” Jawabnya, sambil mengusap-usap kepalaku.

“Segera saja kau beritahu aku, apa bisnis yang kau tawarkan.”

“Oke, pak bos. Aku tahu, kau tak akan bisa merusak motor-motor itu, tapi kau bisa membantuku memperpendek masa rusak onderdil itu.”

Dia menyedot cerutunya lagi,

“Di pabrikku, onderdil paling susah laku adalah lampu motor. Kau tahulah, jam operasi lampu motor itu kan 10.000 jam. Bayangkan jika semua orang hanya menghidupkan lampu motor pada malam hari saja, paling cepat orang beli lampu kalau sudah setahun. Itu yang bikin lampu-lampu di pabrik tak cepat laku.”

Aku terus mendengarkannya penuh selidik,

“Dan yang aku ingin kau lakukan, kawan, adalah membuat peraturan sepeda motor harus menghidupkan lampu motor di siang hari. La...”

“Hah, ngawur kau. Apa yang harus ku katakan pada rakyat ini ?. Bukankah siang hari itu terang, tanpa lampupun orang akan melihat kalau itu motor.”, potongku. Aku heran dengan pemikirannya.

“Ahh, itulah kenapa aku kemari. Kau ‘kan kepala polisinya, kau yang memastikan itu. Kau sampaikan saja pada rakyatmu, kalau menyalakan lampu pada siang hari akan mempermudah pengendara lain melihat posisi motor sehingga mengurangi angka kecelakaan, walaupun kita sendiri tahu kalau itu hanya memberi efek 1 persen saja. Kau katakan saja bahwa negara-negara di luar negeri juga sama seperti itu, kan rakyatmu selalu tergoda dengan metode-metode berbau luar negeri.”

Dia menghisap cerutunya dalam-dalam, lalu menghembuskannya,

“Aku yakin akan banyak penentang kebijakan itu, mereka akan berkata kalau hanya orang buta yang tidak bisa melihat sepeda motor di siang hari. Tapi kau juga punya kekuatan untuk menghentikan para penentang itu. Kau buat peraturan tentang lampu itu, lalu kau kampanyekan safety riding itu, dan kalau banyak yang melanggar kau tilang saja. Beres perkara.”

“Kalau rakyat demo menentangnya, bagaimana ?”

“Kau alihkan saja perhatian mereka. Kau pilih polwan-polwan cantik untuk kampanye ke masyarakat. Kau suruh polisi-polisi menari India, buat rakyat lupa dengan peraturan itu. Gampang bukan ?. Ahh, kau menjadi pejabat negara, tapi tak bisa meniru politik Presidenmu. Ahahaha.”

Dia tertawa lebar, sementara aku masih berpikir.

“Apa yang akan kudapat dari bisnis kita ini ?”

“20% dari keuntungan penjualan lampu motor, berlaku selama peraturan lampu motor itu tetap berlaku. Ditambah...”

Dia tersenyum menyeringai. Aku mulai sadar, aku telah larut dalam permainannya. Namun tak apalah, lanjut saja.

“Ditambah apa ?”

“Hemm...”, dia menyundutkan cerutunya ke asbak. Lalu kembali duduk dengan santai,

“Kau pasti kangen dengan Lusiana. Aku bisa mengatur pertemuanmu dengannya, lengkap dengan satu kamar President Suit hotel bintang lima, selama dua hari dua malam. Bagaimana, kawan baikku ?”

Aku terus berpikir. Wajah Lusiana juga muncul dalam pikiranku. Kubayangkan kegoncangan rakyat saat menyambut peraturan baru itu. Aku pejamkan mataku. Sedetik, dua detik, tiga detik, ahh.., bukankah bisnis ini resikonya kecil..!!!

“Oke, aku terima. Kau tunggu saja dalam satu dua bulan ini.”

“Mantapp.. Ini nomer handphone Lusiana, lengkap dengan alamat hotel dan nomor kamarmu. Kau anggap saja itu uang muka, hahaha.”

“Hei, ternyata kau sudah mempersiapkannya ?. Kau yakin sekali aku akan menyetujui berbisnis denganmu.”

“Aku tau siapa kau, kawan baikku. Hahaha. Dan andai kau tidak mau berbisnis denganku, biar kamar hotel itu aku yang pakai dengan Lusiana. Hahahahaha...”

Dia tertawa sangat keras. Aku hanya tersenyum. Dia berjalan keluar ruanganku, dengan wajah yang sangat puas dan lambaian tangan yang bertenaga. Aku termenung sebentar. Ya, bisnis ini, akan segera kulaksanakan.


*Kisah ini hanya fiktif belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar