Sabtu, 21 Mei 2011

Fakultas Ilmu Budaya dan 5 Prodi Barunya

Berita pembukaan lima prodi baru di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) sudah terdengar hingga ke seantero negeri. Pembukaan kelima Prodi itu, tentu saja, memancing pro dan kontra di tengah masyarakat FIB. Baik itu mahasiswa, dosen, maupun karyawan. Namun rencana itu terus saja menggelinding hingga akhirnya sampai pada tahap sosialisasi kepada calon mahasiswa baru. Pihak kontra terus saja memanas-manasi keadaan, dengan berbagai argumen untuk mencegah hal itu terjadi. Mulai dari prosedur kebijakan yang salah, hingga masalah ke-etis-an. Namun yang paling saya sesalkan adalah, tidak adanya keterlibatan mahasiswa di dalamnya, setidaknya untuk mengetahui akan kemanakah haluan fakultas tercinta ini. Dan memang sudah seharusnya, mahasiswa FIB mengambil tindakan dengan segera, untuk mendiskusikan dan menyuarakan pendapat. Pro maupun kontra. Koreksi maupun dukungan.

Kelima Prodi

Saya sebenarnya adalah salah satu orang yang setuju dengan kebijakan perluasan FIB dengan penambahan prodi baru. Setidaknya itu akan membantu FIB untuk menjadi besar dan lebih besar. Sungguh mengejutkan dan di luar perkiraan saya, FIB langsung membuka 5 program studi baru : Antropologi Budaya, Seni Rupa, Pend. Bahasa Inggris, Pend. Bahasa Jepang, dan Pend. Bahasa Indonesia. Hal pertama yang muncul di pikiran saya adalah Gedung FIB dan Gedung Kuliah Bersama yang akan semakin sempit. Bila kita mengacu pada jumlah mahasiswa Sastra Cina pada awal pembukaannya, tambahan lima prodi akan menghasilkan mahasiswa setidaknya 50 orang. Bila dijumlah dengan peningkatan mahasiswa baru di prodi-prodi lain yang sudah dikenal masyarakat, bisa jadi 1000 mahasiswa akan hadir ke FIB pada tahun ajaran berikutnya.

Itu hanya hitung-hitungan kotor saja, namun tentu kita sudah harus memikirkannya. Jumlah itu akan menjadikan FIB berisi sekitar 2.500 mahasiswa, dengan tempat belajar yang hanya gedung FIB dan GKB. Sementara gedung baru FIB, yang sudah lama dirindukan mahasiswa, tak kunjung selesai. Lalu mahasiswa FIB akan kuliah dimana ?.

Hal ini mengingatkan saya pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univ. Brawijaya pada tahun 2009 lalu, tepatnya sekitar 2 bulan sebelum PK2MABA. Saya, yang saat itu masih di Departemen Humas BEM Bastra, ngobrol dengan Presiden BEM FISIP 2009 yang sedang ruwet saat itu. Masalahnya sama : Gedung belum selesai, dan mahasiswa akan datang dengan jumlah yang sangat besar. Namun saat itu, sudah ada jaminan bahwa saat mahasiswa baru datang, 3 lantai gedung baru FISIP sudah bisa ditempati. Dan benar adanya, 3 gedung itu selesai tepat waktu. Bahkan FISIP juga mendapat tambahan dana untuk meneruskan pembangunan dari mahasiswa baru yang membludak jumlahnya.

Mungkin saja FIB akan seperti itu juga, namun siapa bisa menjamin ?. Saat ini saja, pembangunan gedung baru FIB mangkrak, tidak jelas kapan akan dilanjutkan. Lalu siapa yang bisa menjamin mahasiswa baru akan mendapat tempat untuk belajar ?. Tanpa mahasiswa baru saja, dengan jumlah mahasiswa sekitar 1600 mahasiswa, tahun ini FIB harus melaksanakan perkuliahan hingga jam-jam rawan : 21.00 !!.

Masalah gedung bukan hanya satu-satunya kekhawatiran yang muncul dari pembukaan lima prodi baru itu. Kekurangan staf pengajar, adalah kekhawatiran yang membayang. Pembukaan prodi baru juga berarti pengkonsentrasian para pengajar. Yang sarjana pendidikan akan mengisi prodi pendidikan, sedangkan yang sarjana sastra murni akan tetap di prodi sastra murni. Lantas siapa yang akan mengisi kekosongan itu ?. Tentu satu-satunya jalan adalah perburuan dosen-dosen baru. Dan mencari dosen berkualitas tentu tidak semudah yang dibayangkan. Bisa jadi dari 10 dosen baru, hanya 5 orang yang berkualitas. Sisanya, bisa jadi pas-pasan, atau buruk.

Masalah Prodi Kependidikan

Saat mendengar adanya Prodi Kependidikan yang juga akan dibuka, sebuah tanda tanya besar muncul di otak saya. Bukankah fakultas kependidikan harusnya di Univ. Negeri Malang (UM) sana ?. Mungkin saya adalah orang yang terjebak dalam asumsi bahwa fakultas kependidikan dan keguruan adalah ranah bagi fakultas yang dulunya bernama IKIP, baik itu Universitas Negeri Malang maupun Universitas Negeri Surabaya. Entahlah asumsi itu benar atau tidak, namun berita pembukaan 3 prodi pendidikan di FIB UB menjadi pertanyaan besar tentang asumsi yang saya anut itu.

Saya tidak pernah, atau mungkin, belum membaca sebuah peraturan yang berhubungan dengan asumsi saya tadi. Dan sejauh saya belum membacanya, saya berusaha untuk tidak berkomentar lebih jauh. Mungkin saja pihak FIB dan UB melihat adanya kesempatan untuk mendatangkan mahasiswa sebanyak mungkin dari banyaknya minat masyarakat luar untuk menjadi seorang pengajar. Dan itu sah-sah saja, selama tidak ada peraturan yang dilanggar.

Namun, kenapa prodi pendidikan harus dibuka di fakultas yang sudah menasbihkan nama sebagai Fakultas Ilmu Budaya ?. Bukankah prodi pendidikan sepertinya tidak memiliki korelasi dengan Ilmu Budaya ?. Antropologi dan Seni Rupa tentu jelas korelasinya, tapi Prodi Pendidikan ?!. Apakah itu ketiga prodi pendidikan itu hanya titipan sementara waktu, sebelum nanti akan dibuka Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Brawijaya. Ataukah malah FIB sendiri yang akan berganti nama menjadi Fakultas Bahasa dan Seni seperti di Univ, Negeri Malang, atau malah Fakultas Humaniora Budaya.

Tentu saja, tidak semua masalah akan saya sampaikan disini. Seperti yang selalu dikatakan oleh para agen intelijen atau para ahli analisis : Sebuah masalah bisa jadi menyembunyikan masalah-masalah yang lain. Pada kasus pembukaan 5 prodi baru ini, ada banyak masalah yang lain, yang saya kira tidak layak untuk diketahui oleh masyarakat umum. Namun melalui kegiatan wajib para aktivis mahasiswa, yaitu kegiatan diskusi, bisa jadi masalah-masalah itu akan terungkap. Dan harapan saya, diskusi aktivis mahasiswa FIB akan menghasilkan sebuah tindakan nyata, daripada hanya kata-kata tanpa arti. Semoga gerakan mahasiswa FIB dapat menentukan arah terbaik bagi fakultas tercinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar