Sabtu, 21 Mei 2011

Untuk Aktivis di FIB

“ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :
“maksud baik saudara untuk siapa ?
saudara berdiri di pihak yang mana ?”
(Sajak Pertemuan Mahasiswa – W.S. Rendra)

Maksud baik, atau saat ini lebih dikenal dengan ‘kebijakan’, sejatinya adalah sebuah keputusan yang bisa diambil oleh seluruh makhluk hidup. Setiap orang bisa memutuskan kebijakannya, sejauh dia bisa membuktikan kebebasannya. Hanya saja, yang membedakannya adalah ruang lingkup dari kebijakan itu sendiri. Luaskah, atau bersifat individu saja. Luas ruang lingkup kebijakan itu menandakan tingginya kedudukan induvidu yang mengambil kebijakan itu.

Sementara kebijakan mengenal dua jenis pengambilan keputusan : Otoriter dan Demokratis. Tentu tidak ada kesalahan dengan dua jenis decision making itu, hanya tepat atau tidakkah. Dan karena kebijakan adalah sebuah keputusan perorangan atau sekelompok orang, akan sangat sulit untuk memuaskan seluruh masyarakat yang tercakup di dalamnya. Pasti akan ada pro dan kontra. Ketika sebuah kebijakan ternyata tidak tepat, atau malah menyengsarakan rakyat, maka sebuah tindakan sebagai respon akan lahir dari gerakan ketidak puasan itu. Dan disitulah kebijakan menemukan jodohnya : KOREKSI. Atau yang disebut Putu Wijaya dalam cerpennya : PERADILAN RAKYAT.

Republik Indonesia telah mencatat berbagai ketidak puasan rakyat, yang akhirnya mengantarkan sebuah peradilan rakyat muncul dan melakukan koreksi. Peristiwa 1966, Peristiwa Malari, Peristiwa 1998 adalah salah satu bentuk Peradilan Rakyat yang diwakili oleh mahasiswa sebagai agent of change dan social control. Apakah sebuah peradilan rakyat selalu benar ?. Saya kira tidak. Kebenaran di tengah masyarakat luas adalah sebuah ke-absurd-an. Hanya yang menang yang menentukan kebenaran. Setidaknya itu yang tersirat di Kitab Mahabharata dan Ramayana.

Universitas dan fakultas merupakan salah satu contoh negara di ranah pendidikan. Rektor dan Dekan adalah presidennya. Dan uniknya, mahasiswa juga merupakan negara, tepatnya negara di atas negara. Presiden Mahasiswa adalah pemimpinnya. Dan semua proses kebijakan dan koreksi sudah seharusnya berjalan dengan baik, apabila kedua negara tersebut dapat memainkan perannya masing-masing.

Alur kebijakan dan koreksi itu juga yang seharusnya terjadi di Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Tidak peduli siapakah pengambil kebijakannya, mahasiswa adalah warga dari sebuah negara di atas negara. Dan tugas mahasiswa FIB adalah pengambil kebijakan serta pengkoreksi kebijakan. Mahasiswa FIB sudah seharusnya bertindak di atas kakinya sendiri. Sebab mahasiswa adalah bagian dari sistem pengambilan kebijakan, bukan obyek dari sistem. Dan untuk itulah, mahasiswa harus mampu mendiskusikan pemikirannya, serta ambil bagian dalam lancarnya siklus kebijakan dan koreksi, demi tercapainya FIB yang berjalan sesuai harapan masyarakatnya.

Ayo Mahasiswa FIB, bergeraklah !!!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar