Kamis, 17 Maret 2011

SYAIR KEHIDUPAN

Hidup ini sangatlah susah

Tiap jengkalnya adalah tandus

Dan Tuhan pun begitu megah dalam tindakan-Nya

Menumbuhkan kita sebagai tanaman semak kecil di ketandusan ini...

Tapi kita juga mengenal cinta

Yang mengalir sebagai air di lahan ini

Yang mengirimkan sari-sari kehidupan ke dalam akar-akar kita

Lalu kita bisa hidup...

Maka dengan air yang sejuk itulah

Aku berbicara dan menggumam

Dalam tiap-tiap syair yang tertulis di robekan kertas

Tentang sebuah arti abadi kehidupan...

Air itulah yang sangat menghidupkan..

Kala kudengar bapakku bercerita

Tentang masa kecil yang tak lekang.

Tentang kehidupan ekonomi yang kerontang.

Tentang perjuangan ibu yang terjaga di tengah malam

menggoreng adonan roti atau keripik ubi

membawanya di keranjang sepeda mini usang

menitipkannya pada penjual jajanan di pasar

pagi sekali sebelum berangkat mengajar..

Tentang cucuran keringat bapak di angkot yang penuh penumpang

di balik seragam PNS-nya yang kekecilan dan mulai lusuh

yang dikenakannya sedari pagi hingga tiba kembali di rumah saat petang..

Tentang tangisanku yang merengek-rengek

meminta sebuah mainan mobil remote control seperti punya tetangga

dijawab dengan janji ibu,”Nanti kalau sudah punya uang.”

namun tetap saja tak terbeli...

Lalu saat ibuku yang pulang tanpa sepeda mininya

yang katanya sedang diperbaiki di bengkel

padahal kulihat sepeda itu terparkir di gudang Pegadaian..

Juga saat ayahku diam termenung

sewaktu kuutarakan keinginanku untuk ikut Bimbingan Belajar di Primagama

dan berakhir dengan kerelaanku untuk belajar sendiri di rumah..

Di saat-saat itulah...

Dari derai air mata dan peluh di pundak orang tuaku..

Kulihat setitik mata air dan embun mengalir..

Deras... Dan menyegarkan daun-daun hijau di tubuhku yang nyaris layu...

Lalu mengembang kembali...

Disini...

Di syairku juga kutuliskan tentang bait-bait manis

Bait tentang ayahku yang datang membawa sarung baru

berkain tipis dan warnanya mudah pudar

2 hari menjelang Idul Fitri...

Atau bait tentang baju koko hitam yang dibelikan ibu

dengan uang hasil menjual ayam

yang diberikannya padaku dengan senyuman hangat sambil berkata.

”Mirip bajunya Pasha Ungu.”..

Ada pula bait-bait pendek

Tentang kristal bening di pelupuk mata ayahku

saat kuhadiahkan sekotak korek api di ulang tahunnya

karena kutahu hobinya membersihkan kotoran kuping dengn batang korek...

Dan tentang tawa gembira adikku yang berubah menjadi tangis

melihat sepatu baru yang dibelinya 2 hari yang lalu di pasar

terkelupas warnanya...

Bait-bait itulah yang kini menggema di langit...

Menjadi lagu favorit para malaikat di negeri awan..

Menghadirkan rasa iri di hati mereka..

Atas segala kemuliaan makhluk yang bernama manusia...

Kertas ini tak hanya merangkum kisah-kisah miris

atau bait-bait manis

Dalam tiap barisnya. Dalam setiap huruf

yang tercetak di dalamnya...

Disini pula kusimpan harapan-harapan

impian-impian bapak dan ibu

yang kudengar dalam sujud-sujud mereka di tengah malam

atau saat mereka mengigau dalam tidur yang pendek...

Harapan itu sama seperti harapan seekor kangguru

saat menggendong anaknya dalam kantung hangat...

Impian itu adalah impian danau-danau

yang mengirimkan aliran air ke samudera luas...

Impian dari kerut-kerut wajah bapak

yang seakan berkata,

”Jadilah pohon yang besar dalam hidupmu

dengan batang yang tegak menjulang

dan daun yang rimbun untuk menyejukkan bumi...

jangan jadi benalu kerdil yang menggerogoti pohon lain

menghisap belas kasih di batang-batang dan ranting-ranting

hingga layu...”

Harapan dari mata lelah ibu

yang berbinar dalam gelap

menyinari jalan-jalan yang harus kupilih

sejauh apapun aku berjalan

menemani langkah-langkahku saat terasa berat

atau saat ku melambung tinggi

sembari membisikkan petuah yang terejawantahkan,

”Melompatlah setinggi kau mau

terbanglah mengikuti angin yang bertiup

bergantunglah pada bintang-bintang

berdirilah di atas puncak Himalaya..

Untuk dirimu sendiri..

Karena kami hanyalah batu untuk kau pijak sebelum melompat

hanyalah tali untukmu bergantung saat kau terperosok...”


Maka, dengan semua itulah...

Dengan air sejuk... Dengan syair-syair kehidupan...

Dengan harapan-harapan dan impian-impian...

Tuhan merestui ruhku menjelajah di bumi ini...

Sebagai manusia yang mulai tumbuh dewasa...

yang mulai mencari hakikat dan tujuan hidupnya…

Sebagai tunas yang mulai beranjak tinggi...

Mencoba bertahan di tengah badai yang menghancurkan...

Mencoba meraih awan dengan ujung-ujung ranting dan daun-daun...

Hingga suatu ketika yang tak lagi diragukan...

Kala malaikat turun membawa kebijaksanaan Tuhan yang lainnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar