Hidup ini sangatlah susah
Tiap jengkalnya adalah tandus
Dan Tuhan pun begitu megah dalam tindakan-Nya
Menumbuhkan kita sebagai tanaman semak kecil di ketandusan ini...
Tapi kita juga mengenal cinta
Yang mengalir sebagai air di lahan ini
Yang mengirimkan sari-sari kehidupan ke dalam akar-akar kita
Lalu kita bisa hidup...
Maka dengan air yang sejuk itulah
Aku berbicara dan menggumam
Dalam tiap-tiap syair yang tertulis di robekan kertas
Tentang sebuah arti abadi kehidupan...
Air itulah yang sangat menghidupkan..
Kala kudengar bapakku bercerita
Tentang masa kecil yang tak lekang.
Tentang kehidupan ekonomi yang kerontang.
Tentang perjuangan ibu yang terjaga di tengah malam
menggoreng adonan roti atau keripik ubi
membawanya di keranjang sepeda mini usang
menitipkannya pada penjual jajanan di pasar
pagi sekali sebelum berangkat mengajar..
Tentang cucuran keringat bapak di angkot yang penuh penumpang
di balik seragam PNS-nya yang kekecilan dan mulai lusuh
yang dikenakannya sedari pagi hingga tiba kembali di rumah saat petang..
Tentang tangisanku yang merengek-rengek
meminta sebuah mainan mobil remote control seperti punya tetangga
dijawab dengan janji ibu,”Nanti kalau sudah punya uang.”
namun tetap saja tak terbeli...
Lalu saat ibuku yang pulang tanpa sepeda mininya
yang katanya sedang diperbaiki di bengkel
padahal kulihat sepeda itu terparkir di gudang Pegadaian..
Juga saat ayahku diam termenung
sewaktu kuutarakan keinginanku untuk ikut Bimbingan Belajar di Primagama
dan berakhir dengan kerelaanku untuk belajar sendiri di rumah..
Di saat-saat itulah...
Dari derai air mata dan peluh di pundak orang tuaku..
Kulihat setitik mata air dan embun mengalir..
Deras... Dan menyegarkan daun-daun hijau di tubuhku yang nyaris layu...
Lalu mengembang kembali...
Disini...
Di syairku juga kutuliskan tentang bait-bait manis
Bait tentang ayahku yang datang membawa sarung baru
berkain tipis dan warnanya mudah pudar
2 hari menjelang Idul Fitri...
Atau bait tentang baju koko hitam yang dibelikan ibu
dengan uang hasil menjual ayam
yang diberikannya padaku dengan senyuman hangat sambil berkata.
”Mirip bajunya Pasha Ungu.”..
Tentang kristal bening di pelupuk mata ayahku
saat kuhadiahkan sekotak korek api di ulang tahunnya
karena kutahu hobinya membersihkan kotoran kuping dengn batang korek...
Dan tentang tawa gembira adikku yang berubah menjadi tangis
melihat sepatu baru yang dibelinya 2 hari yang lalu di pasar
terkelupas warnanya...
Bait-bait itulah yang kini menggema di langit...
Menjadi lagu favorit para malaikat di negeri awan..
Menghadirkan rasa iri di hati mereka..
Atas segala kemuliaan makhluk yang bernama manusia...
Kertas ini tak hanya merangkum kisah-kisah miris
atau bait-bait manis
Dalam tiap barisnya. Dalam setiap huruf
yang tercetak di dalamnya...
Disini pula kusimpan harapan-harapan
impian-impian bapak dan ibu
yang kudengar dalam sujud-sujud mereka di tengah malam
atau saat mereka mengigau dalam tidur yang pendek...
Harapan itu sama seperti harapan seekor kangguru
saat menggendong anaknya dalam kantung hangat...
Impian itu adalah impian danau-danau
yang mengirimkan aliran air ke samudera luas...
Impian dari kerut-kerut wajah bapak
yang seakan berkata,
”Jadilah pohon yang besar dalam hidupmu
dengan batang yang tegak menjulang
dan daun yang rimbun untuk menyejukkan bumi...
jangan jadi benalu kerdil yang menggerogoti pohon lain
menghisap belas kasih di batang-batang dan ranting-ranting
hingga layu...”
Harapan dari mata lelah ibu
yang berbinar dalam gelap
menyinari jalan-jalan yang harus kupilih
sejauh apapun aku berjalan
menemani langkah-langkahku saat terasa berat
atau saat ku melambung tinggi
sembari membisikkan petuah yang terejawantahkan,
”Melompatlah setinggi kau mau
terbanglah mengikuti angin yang bertiup
bergantunglah pada bintang-bintang
berdirilah di atas puncak Himalaya..
Untuk dirimu sendiri..
Karena kami hanyalah batu untuk kau pijak sebelum melompat
hanyalah tali untukmu bergantung saat kau terperosok...”
Maka, dengan semua itulah...
Dengan air sejuk... Dengan syair-syair kehidupan...
Dengan harapan-harapan dan impian-impian...
Tuhan merestui ruhku menjelajah di bumi ini...
Sebagai manusia yang mulai tumbuh dewasa...
yang mulai mencari hakikat dan tujuan hidupnya…
Sebagai tunas yang mulai beranjak tinggi...
Mencoba bertahan di tengah badai yang menghancurkan...
Mencoba meraih awan dengan ujung-ujung ranting dan daun-daun...
Hingga suatu ketika yang tak lagi diragukan...
Kala malaikat turun membawa kebijaksanaan Tuhan yang lainnya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar